KISAH SUNAN GRESIK

KISAH SUNAN GRESIK

Matahari baru saja tenggelam di Desa Tanggulangin,
Gresik, Jawa Timur. Rembulan dan bintang giliran
menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk
desa tampak ceria menyambut cuaca malam itu.
Sebagian mereka berbincang santai di beranda,
duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar
suara gemuruh. Makin lama makin riuh.
Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di
perbatasan desa terlihat gerombolan pasukan
berkuda --berjumlah sekitar 20 orang. Warga
Tanggulangin berebut menyelamatkan diri --
bergegas masuk ke rumahnya masing-masing.
Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk
Penjalin. Ia berperawakan tinggi, kekar, dengan
wajah bercambang bauk.
''Serahkan harta kalian,'' sergah Penjalin, jawara
yang tak asing di kawasan itu. ''Kalau menolak,
akan kubakar desa ini.'' Tak satu pun penduduk
yang sanggup menghadapi. Mereka memilih
menyelamatkan diri, daripada ''ditekuk-tekuk'' oleh
Penjalin. Merasa tak digubris, kawanan itu siap
menghanguskan Tanggulangin.
Obor-obor hendak dilemparkan ke atap rumah-
rumah penduduk. Tetapi, mendadak niat itu terhenti.
Sekelompok manusia lain, berpakaian putih-putih,
tiba-tiba muncul entah dari mana. Rombongan ini
dipimpin Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama
terkenal yang mulai meluaskan pengaruhnya di
wilayah Gresik dan sekitarnya.
Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke depan.
Dengan sopan ia mengingatkan kelakuan tak terpuji
Penjalin. Penjalin tentu tak terima. Apalagi, orang
yang mengingatkannya sama sekali tak dikenal di
rimba persilatan Gresik. Dalam waktu singkat,
terjadilah pertarungan seru. Penduduk Tanggulangin,
yang melihat pertempuran itu, rame-rame keluar,
lalu membantu Ghafur.
Akhirnya, Penjalin dan pasukannya kocar-kacir.
Tapi, Penjalin tak mau menuruti perintah Ghafur
agar membubarkan anak buahnya. Ghafur tak
punya pilihan lain, ia harus membunuh Penjalin.
Baru saja tiba pada keputusan itu, tiba-tiba
wajahnya diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali.
Aneh, di puncak kemarahan itu, ia malah melangkah
surut.
Penjalin terperangah. ''Mengapa tak jadi membunuh
aku?'' ia bertanya. Ghafur menjawab, ''Karena kamu
telah membuatku marah, dan aku tak boleh
menghukum orang dalam keadaan marah.''
Mendengar ''dakwah'' ini, disusul oleh perbincangan
singkat, Penjalin dan gerombolannya menyatakan
tertarik memeluk agama Islam.
Petikan di atas merupakan satu dari dua kisah
populer tentang perjalanan dakwah Syekh Maulana
Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Sunan
Gresik. Satu cerita lagi yang kerap ditulis pengarang
buku-buku Maulana Malik Ibrahim adalah
pertemuannya dengan sekawanan kafir di tengah
padang pasir.
Ketika itu, mereka hendak menjadikan seorang
gadis sebagai tumbal meminta hujan kepada dewa.
Pedang sudah dihunus. Sunan Gresik mendinginkan
mereka dengan pembicaraan yang lembut,
kemudian memimpin salat Istisqa' --untuk
memohon hujan. Tak lama kemudian langit
mencurahkan butir-butir air, Kawanan kafir itu
memeluk agama Islam.
Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim
disebut-sebut sebagai wali paling senior, alias wali
pertama. Ada sejumlah versi tentang asal usul Syekh
Magribi, sebutan lain Sunan Gresik itu. Ada yang
mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan
Gujarat (India). Sumber lain menyebutkan ia lahir di
Campa (Kamboja).
Setelah cukup dewasa, Maulana Malik Ibrahim
diminta ayahnya, Barebat Zainul Alam, agar
merantau, berdakwah ke negeri selatan. Maka,
bersama 40 anggota rombongan yang
menyertainya, Malik mengarungi samudra berhari-
hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu, Gresik,
pada 1380 M. Mengenai tahun ''pendaratan'' ini pun
terdapat beberapa versi.
Buku pegangan juru kunci makam Maulana Malik
Ibrahim, misalnya, mencantumkan tahun 1392.
Beberapa naskah lain bahkan menyebut tahun
1404. Rombongan Malik kemudian menetap di Desa
Leran, sekitar sembilan kilometer di barat kota
Gresik. Ketika itu, Gresik berada di bawah Kerajaan
Majapahit.
Dari sinilah Malik mulai meluncurkan dakwahnya,
dengan gaya menjauhi konfrontasi. Sebagian besar
masyarakat setempat ketika itu menganut Hindu,
''agama resmi'' Kerajaan Majapahit. Sunan
melalukan sesuatu yang sangat sederhana:
membuka warung. Ia menjual rupa-rupa makanan
dengan harga murah.
Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi
orang. Malik melangkah ke tahap berikutnya:
membuka praktek sebagai tabib. Dengan doa-doa
yang diambil dari Al-Quran, ia terbukti mampu
menyembuhkan penyakit. Sunan Gresik pun seakan
menjelma menjadi ''dewa penolong''. Apalagi, ia tak
pernah mau dibayar.
Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu, Sunan
Gresik cepat dikenal, karena ia sanggup menerobos
sekat-sekat kasta. Ia memperlakukan semua orang
sama sederajat. Berangsur-angsur, jumlah
pengikutnya terus bertambah. Setelah jumlah
mereka makin banyak, Sunan Gresik mendirikan
masjid.
Ia juga merasa perlu membangun bilik-bilik tempat
menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah
yang kemudian dikenal dengan nama pesantren.
Dalam mengajarkan ilmunya, Malik punya
kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab
hadis di atas bantal. Karena itu ia kemudian dijuluki
''Kakek Bantal''.
Kendati pengikutnya terus bertambah, Malik merasa
belum puas sebelum berhasil mengislamkan Raja
Majapahit. Ia paham betul, tradisi Jawa sarat
dengan kultur ''patron-client''. Rakyat akan selalu
merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Karena
itu, mengislamkan raja merupakan pekerjaan yang
sangat strategis.
Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung berdakwah
ke raja, pasti tak akan digubris, karena posisinya
lebih rendah. Karena itu ia meminta bantuan
sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain. Konon,
Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Tetapi J.
Wolbers, dalam bukunya Geschiedenis van Java,
menyebut Cermain tak lain adalah Kerajaan Gedah,
alias Kedah, di Malasyia.
Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya,
Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal. Dewi
yang berwajah elok itu akan dipersembahkan
kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabang-
cabanglah cerita mengenai ''Raja Majapahit'' itu..
Ada yang menyebut raja itu Prabu Brawijaya V.
Tetapi menurut Wolbers, raja tersebut adalah
Angkawijaya.
Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam bukunya,
Riwayat Maulana Malik Ibrahim, nama Angkawijaya
tidak dikenal, baik dalam Babad Tanah Jawi
maupun Pararaton. Nama Angkawijaya tercantum
dalam Serat Kanda. Di situ disebutkan, dia adalah
pengganti Mertawijaya, alias Damarwulan --suami
Kencana Wungu.
Angkawijaya mempunyai selir bernama Ni Raseksi.
Tetapi, kalau dicocokkan dengan Babad Tanah Jawi,
raja Majapahit yang mempunyai selir Ni Raseksi
adalah Prabu Brawijaya VII. Cuma, menurut catatan
sejarah, Prabu Brawijaya VII memerintah pada
1498-1518. Periode ini jadi ''bentrokan'' dengan
masa hidup Maulana Malik Ibrahim.
Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja yang
dimaksud adalah Hyang Wisesa, alias
Wikramawardhana, yang memerintah pada
1389-1427. Terlepas dari siapa sang raja
sebenarnya, yang jelas penguasa Majapahit itu
akhirnya bersedia menemui rombongan Raja
Cermain. Sayang, usaha mereka gagal total.
Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari, tetapi
menolak masuk Islam. ''Bargaining'' seperti ini tentu
diotolak rombongan Cermain. Sebelum pulang ke
negerinya, rombongan Cermain singgah di Leran.
Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka
menetap di rumah Sunan Gresik.
Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba merajalelalah
wabah penyakit. Banyak anggota rombongan
Cermain yang tertular, bahkan meninggal. Termasuk
Dewi Sari. Raja Cermain dan sebagian kecil
pengawalnya akhirnya bisa pulang ke negeri
mereka. Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan
kegagalan ''misi'' itu. Ia terus melanjutkan
dakwahnya hingga wafat, pada 1419.
Share this article :
 

6 Mei 2012

KISAH SUNAN GRESIK

KISAH SUNAN GRESIK

Matahari baru saja tenggelam di Desa Tanggulangin,
Gresik, Jawa Timur. Rembulan dan bintang giliran
menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk
desa tampak ceria menyambut cuaca malam itu.
Sebagian mereka berbincang santai di beranda,
duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar
suara gemuruh. Makin lama makin riuh.
Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di
perbatasan desa terlihat gerombolan pasukan
berkuda --berjumlah sekitar 20 orang. Warga
Tanggulangin berebut menyelamatkan diri --
bergegas masuk ke rumahnya masing-masing.
Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk
Penjalin. Ia berperawakan tinggi, kekar, dengan
wajah bercambang bauk.
''Serahkan harta kalian,'' sergah Penjalin, jawara
yang tak asing di kawasan itu. ''Kalau menolak,
akan kubakar desa ini.'' Tak satu pun penduduk
yang sanggup menghadapi. Mereka memilih
menyelamatkan diri, daripada ''ditekuk-tekuk'' oleh
Penjalin. Merasa tak digubris, kawanan itu siap
menghanguskan Tanggulangin.
Obor-obor hendak dilemparkan ke atap rumah-
rumah penduduk. Tetapi, mendadak niat itu terhenti.
Sekelompok manusia lain, berpakaian putih-putih,
tiba-tiba muncul entah dari mana. Rombongan ini
dipimpin Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama
terkenal yang mulai meluaskan pengaruhnya di
wilayah Gresik dan sekitarnya.
Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke depan.
Dengan sopan ia mengingatkan kelakuan tak terpuji
Penjalin. Penjalin tentu tak terima. Apalagi, orang
yang mengingatkannya sama sekali tak dikenal di
rimba persilatan Gresik. Dalam waktu singkat,
terjadilah pertarungan seru. Penduduk Tanggulangin,
yang melihat pertempuran itu, rame-rame keluar,
lalu membantu Ghafur.
Akhirnya, Penjalin dan pasukannya kocar-kacir.
Tapi, Penjalin tak mau menuruti perintah Ghafur
agar membubarkan anak buahnya. Ghafur tak
punya pilihan lain, ia harus membunuh Penjalin.
Baru saja tiba pada keputusan itu, tiba-tiba
wajahnya diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali.
Aneh, di puncak kemarahan itu, ia malah melangkah
surut.
Penjalin terperangah. ''Mengapa tak jadi membunuh
aku?'' ia bertanya. Ghafur menjawab, ''Karena kamu
telah membuatku marah, dan aku tak boleh
menghukum orang dalam keadaan marah.''
Mendengar ''dakwah'' ini, disusul oleh perbincangan
singkat, Penjalin dan gerombolannya menyatakan
tertarik memeluk agama Islam.
Petikan di atas merupakan satu dari dua kisah
populer tentang perjalanan dakwah Syekh Maulana
Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Sunan
Gresik. Satu cerita lagi yang kerap ditulis pengarang
buku-buku Maulana Malik Ibrahim adalah
pertemuannya dengan sekawanan kafir di tengah
padang pasir.
Ketika itu, mereka hendak menjadikan seorang
gadis sebagai tumbal meminta hujan kepada dewa.
Pedang sudah dihunus. Sunan Gresik mendinginkan
mereka dengan pembicaraan yang lembut,
kemudian memimpin salat Istisqa' --untuk
memohon hujan. Tak lama kemudian langit
mencurahkan butir-butir air, Kawanan kafir itu
memeluk agama Islam.
Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim
disebut-sebut sebagai wali paling senior, alias wali
pertama. Ada sejumlah versi tentang asal usul Syekh
Magribi, sebutan lain Sunan Gresik itu. Ada yang
mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan
Gujarat (India). Sumber lain menyebutkan ia lahir di
Campa (Kamboja).
Setelah cukup dewasa, Maulana Malik Ibrahim
diminta ayahnya, Barebat Zainul Alam, agar
merantau, berdakwah ke negeri selatan. Maka,
bersama 40 anggota rombongan yang
menyertainya, Malik mengarungi samudra berhari-
hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu, Gresik,
pada 1380 M. Mengenai tahun ''pendaratan'' ini pun
terdapat beberapa versi.
Buku pegangan juru kunci makam Maulana Malik
Ibrahim, misalnya, mencantumkan tahun 1392.
Beberapa naskah lain bahkan menyebut tahun
1404. Rombongan Malik kemudian menetap di Desa
Leran, sekitar sembilan kilometer di barat kota
Gresik. Ketika itu, Gresik berada di bawah Kerajaan
Majapahit.
Dari sinilah Malik mulai meluncurkan dakwahnya,
dengan gaya menjauhi konfrontasi. Sebagian besar
masyarakat setempat ketika itu menganut Hindu,
''agama resmi'' Kerajaan Majapahit. Sunan
melalukan sesuatu yang sangat sederhana:
membuka warung. Ia menjual rupa-rupa makanan
dengan harga murah.
Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi
orang. Malik melangkah ke tahap berikutnya:
membuka praktek sebagai tabib. Dengan doa-doa
yang diambil dari Al-Quran, ia terbukti mampu
menyembuhkan penyakit. Sunan Gresik pun seakan
menjelma menjadi ''dewa penolong''. Apalagi, ia tak
pernah mau dibayar.
Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu, Sunan
Gresik cepat dikenal, karena ia sanggup menerobos
sekat-sekat kasta. Ia memperlakukan semua orang
sama sederajat. Berangsur-angsur, jumlah
pengikutnya terus bertambah. Setelah jumlah
mereka makin banyak, Sunan Gresik mendirikan
masjid.
Ia juga merasa perlu membangun bilik-bilik tempat
menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah
yang kemudian dikenal dengan nama pesantren.
Dalam mengajarkan ilmunya, Malik punya
kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab
hadis di atas bantal. Karena itu ia kemudian dijuluki
''Kakek Bantal''.
Kendati pengikutnya terus bertambah, Malik merasa
belum puas sebelum berhasil mengislamkan Raja
Majapahit. Ia paham betul, tradisi Jawa sarat
dengan kultur ''patron-client''. Rakyat akan selalu
merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Karena
itu, mengislamkan raja merupakan pekerjaan yang
sangat strategis.
Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung berdakwah
ke raja, pasti tak akan digubris, karena posisinya
lebih rendah. Karena itu ia meminta bantuan
sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain. Konon,
Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Tetapi J.
Wolbers, dalam bukunya Geschiedenis van Java,
menyebut Cermain tak lain adalah Kerajaan Gedah,
alias Kedah, di Malasyia.
Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya,
Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal. Dewi
yang berwajah elok itu akan dipersembahkan
kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabang-
cabanglah cerita mengenai ''Raja Majapahit'' itu..
Ada yang menyebut raja itu Prabu Brawijaya V.
Tetapi menurut Wolbers, raja tersebut adalah
Angkawijaya.
Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam bukunya,
Riwayat Maulana Malik Ibrahim, nama Angkawijaya
tidak dikenal, baik dalam Babad Tanah Jawi
maupun Pararaton. Nama Angkawijaya tercantum
dalam Serat Kanda. Di situ disebutkan, dia adalah
pengganti Mertawijaya, alias Damarwulan --suami
Kencana Wungu.
Angkawijaya mempunyai selir bernama Ni Raseksi.
Tetapi, kalau dicocokkan dengan Babad Tanah Jawi,
raja Majapahit yang mempunyai selir Ni Raseksi
adalah Prabu Brawijaya VII. Cuma, menurut catatan
sejarah, Prabu Brawijaya VII memerintah pada
1498-1518. Periode ini jadi ''bentrokan'' dengan
masa hidup Maulana Malik Ibrahim.
Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja yang
dimaksud adalah Hyang Wisesa, alias
Wikramawardhana, yang memerintah pada
1389-1427. Terlepas dari siapa sang raja
sebenarnya, yang jelas penguasa Majapahit itu
akhirnya bersedia menemui rombongan Raja
Cermain. Sayang, usaha mereka gagal total.
Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari, tetapi
menolak masuk Islam. ''Bargaining'' seperti ini tentu
diotolak rombongan Cermain. Sebelum pulang ke
negerinya, rombongan Cermain singgah di Leran.
Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka
menetap di rumah Sunan Gresik.
Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba merajalelalah
wabah penyakit. Banyak anggota rombongan
Cermain yang tertular, bahkan meninggal. Termasuk
Dewi Sari. Raja Cermain dan sebagian kecil
pengawalnya akhirnya bisa pulang ke negeri
mereka. Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan
kegagalan ''misi'' itu. Ia terus melanjutkan
dakwahnya hingga wafat, pada 1419.

6 Mei 2012

KISAH SUNAN GRESIK

KISAH SUNAN GRESIK

Matahari baru saja tenggelam di Desa Tanggulangin,
Gresik, Jawa Timur. Rembulan dan bintang giliran
menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk
desa tampak ceria menyambut cuaca malam itu.
Sebagian mereka berbincang santai di beranda,
duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar
suara gemuruh. Makin lama makin riuh.
Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di
perbatasan desa terlihat gerombolan pasukan
berkuda --berjumlah sekitar 20 orang. Warga
Tanggulangin berebut menyelamatkan diri --
bergegas masuk ke rumahnya masing-masing.
Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk
Penjalin. Ia berperawakan tinggi, kekar, dengan
wajah bercambang bauk.
''Serahkan harta kalian,'' sergah Penjalin, jawara
yang tak asing di kawasan itu. ''Kalau menolak,
akan kubakar desa ini.'' Tak satu pun penduduk
yang sanggup menghadapi. Mereka memilih
menyelamatkan diri, daripada ''ditekuk-tekuk'' oleh
Penjalin. Merasa tak digubris, kawanan itu siap
menghanguskan Tanggulangin.
Obor-obor hendak dilemparkan ke atap rumah-
rumah penduduk. Tetapi, mendadak niat itu terhenti.
Sekelompok manusia lain, berpakaian putih-putih,
tiba-tiba muncul entah dari mana. Rombongan ini
dipimpin Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama
terkenal yang mulai meluaskan pengaruhnya di
wilayah Gresik dan sekitarnya.
Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke depan.
Dengan sopan ia mengingatkan kelakuan tak terpuji
Penjalin. Penjalin tentu tak terima. Apalagi, orang
yang mengingatkannya sama sekali tak dikenal di
rimba persilatan Gresik. Dalam waktu singkat,
terjadilah pertarungan seru. Penduduk Tanggulangin,
yang melihat pertempuran itu, rame-rame keluar,
lalu membantu Ghafur.
Akhirnya, Penjalin dan pasukannya kocar-kacir.
Tapi, Penjalin tak mau menuruti perintah Ghafur
agar membubarkan anak buahnya. Ghafur tak
punya pilihan lain, ia harus membunuh Penjalin.
Baru saja tiba pada keputusan itu, tiba-tiba
wajahnya diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali.
Aneh, di puncak kemarahan itu, ia malah melangkah
surut.
Penjalin terperangah. ''Mengapa tak jadi membunuh
aku?'' ia bertanya. Ghafur menjawab, ''Karena kamu
telah membuatku marah, dan aku tak boleh
menghukum orang dalam keadaan marah.''
Mendengar ''dakwah'' ini, disusul oleh perbincangan
singkat, Penjalin dan gerombolannya menyatakan
tertarik memeluk agama Islam.
Petikan di atas merupakan satu dari dua kisah
populer tentang perjalanan dakwah Syekh Maulana
Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Sunan
Gresik. Satu cerita lagi yang kerap ditulis pengarang
buku-buku Maulana Malik Ibrahim adalah
pertemuannya dengan sekawanan kafir di tengah
padang pasir.
Ketika itu, mereka hendak menjadikan seorang
gadis sebagai tumbal meminta hujan kepada dewa.
Pedang sudah dihunus. Sunan Gresik mendinginkan
mereka dengan pembicaraan yang lembut,
kemudian memimpin salat Istisqa' --untuk
memohon hujan. Tak lama kemudian langit
mencurahkan butir-butir air, Kawanan kafir itu
memeluk agama Islam.
Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim
disebut-sebut sebagai wali paling senior, alias wali
pertama. Ada sejumlah versi tentang asal usul Syekh
Magribi, sebutan lain Sunan Gresik itu. Ada yang
mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan
Gujarat (India). Sumber lain menyebutkan ia lahir di
Campa (Kamboja).
Setelah cukup dewasa, Maulana Malik Ibrahim
diminta ayahnya, Barebat Zainul Alam, agar
merantau, berdakwah ke negeri selatan. Maka,
bersama 40 anggota rombongan yang
menyertainya, Malik mengarungi samudra berhari-
hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu, Gresik,
pada 1380 M. Mengenai tahun ''pendaratan'' ini pun
terdapat beberapa versi.
Buku pegangan juru kunci makam Maulana Malik
Ibrahim, misalnya, mencantumkan tahun 1392.
Beberapa naskah lain bahkan menyebut tahun
1404. Rombongan Malik kemudian menetap di Desa
Leran, sekitar sembilan kilometer di barat kota
Gresik. Ketika itu, Gresik berada di bawah Kerajaan
Majapahit.
Dari sinilah Malik mulai meluncurkan dakwahnya,
dengan gaya menjauhi konfrontasi. Sebagian besar
masyarakat setempat ketika itu menganut Hindu,
''agama resmi'' Kerajaan Majapahit. Sunan
melalukan sesuatu yang sangat sederhana:
membuka warung. Ia menjual rupa-rupa makanan
dengan harga murah.
Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi
orang. Malik melangkah ke tahap berikutnya:
membuka praktek sebagai tabib. Dengan doa-doa
yang diambil dari Al-Quran, ia terbukti mampu
menyembuhkan penyakit. Sunan Gresik pun seakan
menjelma menjadi ''dewa penolong''. Apalagi, ia tak
pernah mau dibayar.
Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu, Sunan
Gresik cepat dikenal, karena ia sanggup menerobos
sekat-sekat kasta. Ia memperlakukan semua orang
sama sederajat. Berangsur-angsur, jumlah
pengikutnya terus bertambah. Setelah jumlah
mereka makin banyak, Sunan Gresik mendirikan
masjid.
Ia juga merasa perlu membangun bilik-bilik tempat
menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah
yang kemudian dikenal dengan nama pesantren.
Dalam mengajarkan ilmunya, Malik punya
kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab
hadis di atas bantal. Karena itu ia kemudian dijuluki
''Kakek Bantal''.
Kendati pengikutnya terus bertambah, Malik merasa
belum puas sebelum berhasil mengislamkan Raja
Majapahit. Ia paham betul, tradisi Jawa sarat
dengan kultur ''patron-client''. Rakyat akan selalu
merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Karena
itu, mengislamkan raja merupakan pekerjaan yang
sangat strategis.
Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung berdakwah
ke raja, pasti tak akan digubris, karena posisinya
lebih rendah. Karena itu ia meminta bantuan
sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain. Konon,
Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Tetapi J.
Wolbers, dalam bukunya Geschiedenis van Java,
menyebut Cermain tak lain adalah Kerajaan Gedah,
alias Kedah, di Malasyia.
Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya,
Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal. Dewi
yang berwajah elok itu akan dipersembahkan
kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabang-
cabanglah cerita mengenai ''Raja Majapahit'' itu..
Ada yang menyebut raja itu Prabu Brawijaya V.
Tetapi menurut Wolbers, raja tersebut adalah
Angkawijaya.
Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam bukunya,
Riwayat Maulana Malik Ibrahim, nama Angkawijaya
tidak dikenal, baik dalam Babad Tanah Jawi
maupun Pararaton. Nama Angkawijaya tercantum
dalam Serat Kanda. Di situ disebutkan, dia adalah
pengganti Mertawijaya, alias Damarwulan --suami
Kencana Wungu.
Angkawijaya mempunyai selir bernama Ni Raseksi.
Tetapi, kalau dicocokkan dengan Babad Tanah Jawi,
raja Majapahit yang mempunyai selir Ni Raseksi
adalah Prabu Brawijaya VII. Cuma, menurut catatan
sejarah, Prabu Brawijaya VII memerintah pada
1498-1518. Periode ini jadi ''bentrokan'' dengan
masa hidup Maulana Malik Ibrahim.
Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja yang
dimaksud adalah Hyang Wisesa, alias
Wikramawardhana, yang memerintah pada
1389-1427. Terlepas dari siapa sang raja
sebenarnya, yang jelas penguasa Majapahit itu
akhirnya bersedia menemui rombongan Raja
Cermain. Sayang, usaha mereka gagal total.
Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari, tetapi
menolak masuk Islam. ''Bargaining'' seperti ini tentu
diotolak rombongan Cermain. Sebelum pulang ke
negerinya, rombongan Cermain singgah di Leran.
Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka
menetap di rumah Sunan Gresik.
Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba merajalelalah
wabah penyakit. Banyak anggota rombongan
Cermain yang tertular, bahkan meninggal. Termasuk
Dewi Sari. Raja Cermain dan sebagian kecil
pengawalnya akhirnya bisa pulang ke negeri
mereka. Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan
kegagalan ''misi'' itu. Ia terus melanjutkan
dakwahnya hingga wafat, pada 1419.
 
Support : Creating Website | gunturzakaw91 | Ganing Sakewa Azigazuru
Copyright © 2011. Aneka Informasi - All Rights Reserved
Template Created by Sakewa Published by Aneh dan Unik
Proudly powered by Gegesuran Plesetan Umban