7 Tive Wanita yang di jauhi laki-laki

Susah dapat pacar atau tidak ada kelanjutan hubungan setelah kencan pertama? Mungkin perilaku Anda penyebabnya. Berdasarkan survey yang dilansir Pravda, rata-rata pria akan kesal jika melihat temanwanitanya mengomentari penampilan wanita lain. Apa lagi perilaku yang bisa ‘menurunkan’ nilai wanita di mata pria? Ini jawabannya, seperti dilansir Times of India & iVillage.
1. Terlalu Pintar
Setiap orang menyukai wanita yang pintar dan dapat menyuarakan pendapatnya tentang segala hal. Namun wanita dengan kepercayaan diri terlalu besar dan terlalu kuat dalam berpendapat dapat membuat pria ‘mundur’. Mereka akan merasa ego dan harga dirinya dijatuhkan.
2. Matrealistis
Banyak pria yang royal kepada wanitanya, namun terkadang wanita memanfaatkannya dengan terus menguras dompet si pria dengan memintanya untuk membayar belanjaan. Pria akan mengetahui jika dia sedang dimanfaatkan. Tentu dia merasa tidak dicintai jika Anda hanya membutuhkan uangnya saja.
 
3. Suka Mengritik
Pria tidak suka mendengar wanita mengomentari kejelekan wanita lain. Pria akan hilang ketertarikannya jika mendapati wanita yang membandingkan pakaian, sepatu dan tas mereka dengan wanita lain. Asal tahu saja, pria biasanya kurang memerhatikan apakah seorang wanita punya selera berbusana yang baik, atau memakai merek tertentu.
4. Tukang Mengeluh
Jika setiap hari yang kita bicarakan hanya keluhan dan menggosipkan kejelekan orang, jangan salahkan siapa-siapa jika Anda tak bisa menemukan pria yang tepat. Banyak pria tidak mengerti kenapa para wanita suka bergosip dan mengeluh.
5. ‘Pengawas’ Berat Badan
Anda suka mengeluhkan berat badan di depan pria? Siap-siaplah mendapat komplain dari mereka. Jika Anda tiba-tiba panik hanya karena satu kali makan es krim untuk dessert, pria tidak bisa memahaminya. Kalaupun Anda merasa khawatir dengan bentuk tubuh, cukup bicarakan kepada teman atau keluarga.
6. Si Gila Kerja
Setiap bertemu, yang Anda bicarakan hanyalah deadline tugas dari bos, presentasi yang njelimet, teman kerja yang menyebalkan atau office boy yang salah membeli pesanan makanan. Boleh saja membicarakan masalah pekerjaan, tapi jika sepanjang pertemuan selalu tentang Anda dan rumitnya tugas kantor pria pun akan bosan.
7. Terlalu Tergantung
Menjalin hubungan bukan berarti bersama-sama sepanjang waktu. Hal tersebut menunjukkan bahwa Anda adalah seseorang yang terlalu tergantung dengan orang lain. Ketergantungan ini bisa menghilangkan rasa ketertarikannya terhadap Anda.
 
Sumber. echa nandha utama
 

KISAH SUNAN MURIA

KISAH SUNAN MURIA

RADEN Umar Said sedang asyik berceramah di
padepokannya di Desa Colo, Kecamatan Dawe,
Kudus, ketika seorang pemuda datang berkunjung.
Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden
Bambang Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra
Raden Umar. Raden Umar terkejut mendengarnya. Ia
segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang.
Tetapi, Kebo Anabrang tetap bersikeras, tak mau
meninggalkan padepokan sebelum Raden Umar
mengaku sebagai ayahnya. Karena terus didesak,
Raden Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan satu
syarat: Kebo Anabrang harus memindahkan salah
satu pintu gerbang Kerajaan Majapahit di Trowulan,
Mojokerto, ke padepokannya dalam semalam.
Padahal, jaraknya mencapai sekitar 350 kilometer.
Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu gerbang itu
enteng saja dipikulnya. Tetapi, dalam perjalanan,
Kebo Anabrang dihadang Raden Ronggo dari
Kadipaten Pasatenan Pati. Raden Ronggo juga
memerlukan gerbang itu untuk mempersunting Roro
Pujiwati, putri Kiai Ageng Ngerang. Siapa saja yang
sanggup membawa gerbang Majapahit itu ke Juana
berhak melamar Roro Pujiwati.
Terjadilah pertarungan sengit. Masing-masing
mengeluarkan kesaktiannya. Raden Umar terpaksa
turun langsung melerai pertengkaran itu. ''Siapa
yang sanggup mengangkat pintu gerbang, dialah
yang berhak,'' kata Raden Umar. Ternyata, hanya
Kebo Anabrang yang sanggup mengangkatnya. Ia
pun melanjutkan perjalanan.
Tapi, apa lacur. Begitu melangkahkan kaki,
terdengar kokok ayam bersahutan, pertanda pagi
menjelang. Padahal, ia baru mencapai Dusun
Rondole, Desa Muktiharjo, yang bejarak lima
kilometer dari kota Pati. Konon, sampai kini pintu
gerbang itu masih berdiri dan dikeramatkan
penduduk setempat.
 

KISAH SUNAN KUDUS

KISAH SUNAN KUDUS

MESKI namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli
Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang
mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25
kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah.
Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja'far
Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan
Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji)
dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa
jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima
perang yang tangguh.
Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam
peperangan antara Demak dan Majapahit. Setelah
itu, Ja'far Shodiq menggantikan posisi ayahnya.
Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah
Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan
Demak. Kenyataannya, Ja'far Shodiq terbukti hebat
di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian
ayahnya.
Ja'far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah
Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan
ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian
memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja'far
Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja'far Shodiq
diberi badong --semacam rompi-- oleh Sunan
Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena
perang.
Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan
tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus
itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-
jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang
langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa
mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit
Majapahit yang tewas disengat tawon.
Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati
Terung, menyerah kepada pasukan Ja'far Shodiq.
Usai perang, Ja'far Shodiq menikahi putri Adipati
Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak.
Selama hidupnya, Ja'far Shodiq sendiri juga punya
istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang
menghasilkan satu anak.
Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi
Ja'far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas
lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat,
yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak.
Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang
disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah
Pengging --wilayah Boyolali-- dan sekitarnya.
Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri
bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan
pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang
mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan
Tingkir digambarkan sebagai saudara seperjuangan,
yang saling menyayangi bagaikan saudara kandung.
Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin
kentara ketika ia menolak menghadap Raja Demak,
Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat
Raden Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh
Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah memutuskan
untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga
itu.
Raden Patah memerintahkan Ja'far Shodiq
''meredam'' Kebo Kenanga. Dalam sebuah
pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun,
kehebatan Ja'far Shodiq sebagai panglima perang
lama-kelamaan surut. Bahkan, menjelang
kepindahannya ke Kudus, Ja'far Shodiq tidak lagi
menjadi panglima perang, melainkan menjadi
penghulu masjid di Demak.
Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja'far
Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja'far Shodiq
berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan
lain, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Sunan
Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja'far
Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata.
Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui
Sunan Kalijaga sebagai guru baru.
Bagi Ja'far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka
karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika
Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja'far
Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya
Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung
Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak tega,
maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang
bernama Rangkud.
Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya,
setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata
bersandar ke badan istrinya, karena keduanya
tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa
diduga, sebelum mengembuskan napas
penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai
Bethok ke tubuh Rangkud.
Versi lain menyebutkan, Ja'far Shodiq meninggalkan
Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup
merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk
kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan
persisnya Ja'far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf
dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam
Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan
beberapa catatan tentang aktivitas Ja'far Shodiq di
sana.
Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja'far Shodiq
menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih
bernama Tajug. Menurut penuturan warga
setempat, yang mula-mula mengembangkan kota
Tajug adalah Kiai Telingsing. Ada yang menyebut,
Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada
The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.
Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah
berkembang sebelum kedatangan Ja'far Shodiq.
Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja'far
Shodiq merupakan penghulu Demak yang
menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja'far Shodiq
mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam
kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah
Ja'far Shodiq itu merupakan para santri yang
dibawanya dari Demak.
Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-
sama Ja'far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain
menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan
warga setempat yang dipekerjakan Ja'far Shodiq
untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan
bahwa Ja'far Shodiq mula-mula hidup dari
penghasilan menggarap lahan pertanian.
Setelah jamaahnya makin banyak, Ja'far Shodiq
kemudian membangun masjid sebagai tempat
ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat
ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shodiq
adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih
berdiri. Nama Ja'far Shodiq tercatat dalam inskripsi
masjid tersebut.
Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada
956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam
inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang
artinya, ''... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di
negeri Quds...'' Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq
menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa, setara
dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.
Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds,
yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada
akhirnya, Ja'far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan
sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan
agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan
Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri
handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan
perlawanan frontal, melainkan mengarahkan
masyarakat sedikit demi sedikit.
Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi
penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun berusaha
memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat
Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru
menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari
raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari
penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut
Hindu.
Cara yang simpatik itu membuat para penganut
agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama
Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang
dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan
Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar.
Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak
meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk
menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid
Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan
sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh karena di
halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara
kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama
Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup
dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa
dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil
menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga
mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah arab
konon berjangkit suatu wabah penyakit yang
membahayakan, penyakit itu menjadi reda berkat
jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir
disana berkenan untuk memberikan suatu hadiah
kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya
kenang-kenangan sebuah batu yang beliau minta.
Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul
Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan
kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta
bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus.
Bahkan menara yang terdapat di depan masjid
itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan
Menara Kudus. Mengenai nama Kudus atau Al
Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara
lain disebutkan : "Al kuds the usual arabic nama for
Jeruzalem in later times, the olders writers call it
commonly bait al makdis ( according to some :
mukaddas ), with really meant the temple (of
solomon), a translation of the hebrew
bethamikdath, but it because applied to the whole
town."
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah
adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan
menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk
mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus
menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah
berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan
kapan persisnya hari pertama puasa.
Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung,
tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan,
banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi,
mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman
awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah
yang dijajakan para pedagang musiman.
Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat
Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara
Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik
tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya
yaitu Sunan Kudus.
Legenda Kota Kudus
Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat
setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang
terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya,
Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti,
yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan
otak dan tenaga manusia biasa.
Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan
masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa pada
zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta
bermukim disana. Kemudian beliau menderita
penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga oleh
kawan - kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah
kenapa timbullah malapetaka yang menimpa negeri
Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit. Segala
daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya
tersebut, namun kiranya usaha itu sia - sia belaka.
Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk
memberikan jasa - jasa baiknya. Bahaya itupun
karena kesaktian beliau menjadi reda kembali. Atas
jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan
memberi hadiah kepada beliau sebagai pembalasan
jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian
hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya
meminta sebuah batu sebagai kenang - kenangan
yang akan dipakai sebagai peringatan bagi
pendirian masjid di Kudus.
Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon
kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di
Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama
kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa jauh
sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan
di Kudus, telah ada seorang tokoh terkemuka
disana ialah Kyai Telingsing. karena beliau sudah
lanjut usia maka ia ingin mencari penggantinya.
Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil
menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang
dicarinya (bhs. Jawa : ingak - inguk), tiba - tiba
Sunan Kudus pun muncul dari arah selatan, dan
masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang
amat singkat, malahan ada yang mengatakan
bahwa masjid itu tiba - tiba muncul denga
sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban), berhubungan
dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama :
Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid
Nganguk Wali.
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan,
bahwa baik Menara Kudus maupun lawang
kembar, masing - masing di bawa oleh beliau
dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab,
sedangkan lawang kembar, katanya di pindahkan
beliau dari Majapahit.
Legenda daerah Jember
Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki
Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan Kudus.
tamu tersebut mengendarai sebuah tampah.
sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak lah
langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan
memamerkan kesaktianya dengan mengendarai
tampah serta berputar - putar diangkasa. Seketika
dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka
sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini
menyombongkan kesaktianya. Sesudah di sabda
oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah
yang ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke
bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs.
Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut
kemudian dinamakan Jember
Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa
pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan lele,
kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya,
dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah
sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala
itupun hidup kembali.
Di dalam "Babad Tanah Jawi" serta kepustakaan
Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil Sunan
Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah
memimpin tentara Demak melawan Majapahit.
Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan Kudus
lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo
Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang
di pandang sangat membahayakan masyarakat yang
baru saja memeluk agama Islam.
 

KISAH SUNAN KALI JOGO/JAGA

KISAH SUNAN KALI JOGO

1. ASAL USUL.
Sudah banyak orang tahu bahwa Sunan Kalijaga itu
aslinya bernama Raden Said.
Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta.
Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden
Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe
yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri
sudah masuk agama Islam.
Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada
agama Islam oleh guru agama Kadipaten
Tuban.Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau
lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan
rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak.
Gelora jiwa muda Raden said seakan meledak-
ledak manakala melihat praktek oknum pejabat
Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada
penduduk atau rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita
dikarenakan adanya musim kemarau panjang,
semakin sengsara, mereka harus membayar pajak
yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan
yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka.
Seringkali jatah mereka untuk persediaan
menghadapi musim panen berikutnya sudah disita
para penarik pajak. Raden Said yang mengetahui hal
itu pernah mengajukan pertanyaan yang mengganjal
di hatinya. Suatu hari dia menghadap ayahandanya.
"Rama Adipati, rakyat tahun ini sudah semakin
sengsara karena panen banyak yang gagal," kata
Raden Said. "Mengapa pundak mereka masih harus
dibebani dengan pajak yang mencekik leher
mereka. Apakah hati nurani Rama tidak merasa
kasihan atas penderitaan mereka ?"
Adipati Wilatikta menatap tajam kea rah putranya.
Sesaat kemudian dia menghela nafas panjang dan
kemudian mengeluarkan suara, "Said anakku..... saat
ini pemerintah pusat Majapahit sedang
membutuhkan dana yang sangat besar untuk
melangsungkan roda pemerintahan. Aku ini
hanyalah seorang bawahan sang Prabu, apa dayaku
menolak tugas yang dibebankan kepadaku. Bukan
hanya Kadipaten Tuban yang diwajibkan membayar
upeti lebih banyak dari tahun-tahun yang lalu.
Kadipaten lainnya juga mendapat tugas serupa."
"Tapi...... mengapa harus rakyat yang jadi korban."
Sahut Raden Said. Tapi Raden Said tak meneruskan
ucapannya. Dilihatnya saat itu wajah ayahnya
berubah menjadi merah padam pertanda hatinya
sedang tersinggung atau naik pitam. Baru kali ini
Raden Said membuat ayahnya marah. Hal yang
selama hiduptak pernah dilakukannya.
Raden Said tahu diri. Sambil bersungut-sungut dia
merunduk dan mengundurkan diri dari hadapan
ayahnya yang sedang marah.
Ya, Raden Said tak perlu melanjutkan pertanyaan.
Sebab dia sudah dapat menjawabnya sendiri.
Majapahit sedang membutuhkan dana besar karena
negeri itu sering menghadapi kekacauan, baik
memadamkan pemberontakan maupun terjadinya
perang saudara.
Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia
lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak
terikat oleh adapt istiadat kebangsawanan. Dia
gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan
segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah
hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya
yang supel itulah dia banyak mengetahui selukbeluk
kehidupan rakyat Tuban. Niat untuk mengurangi
penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada
ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat
banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi
ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi
niat itu tak pernah padam.
Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di
dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-
ayat suci Al-Qur'an, maka sekarang dia keluar
rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap,
Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang
ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit.
Bahan makan itu dibagi-bagikan kepada rakyat
yang sangat membutuhkannya.
Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi
kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak
diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa
gerangan yang memberikan rezeki itu, sebabnya
Raden Said melakukannya di malam hari secara
sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang
seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang
Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit,
soalnya makin hari barangbarang yang hendak
disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu makin
berkurang.
Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil
bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja
sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah
rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.
Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu
gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu
memperhatikan, pencuri itu.Dia hampir tak percaya,
pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungannya
sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati
Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat
fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua
orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki
pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang
tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam
itu perbuatannya bakal ketahuan.
Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil
membawa bahan-bahan makanan, tiga orang
prajurid Kadipaten menangkapnya beserta barang
bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa
kehadapan ayahnya.
"Sungguh memalukan sekali perbuatanmu itu !"
hardik Adipati Wilatikta. "Kurang apakah aku ini,
benarkah aku tak menjamin kehidupanmu di istana
Kadipaten ini ?
Apakah aku pernah melarangnya untuk makan
sekenyang-kenyangnya di Istana ini ?
Atau aku tidak pernah memberimu pakaian ?
Mengapa kau lakukan perbuatan tecela itu ?"
Raden Said tidak mengeluarkan suara. Biarlah, bisik
hatinya. Biarlah orang tak pernah tahu untuk apa
barang-barang yang tersimpan di gudang
Kadipaten itu kuambil. Biarlah ayahku tak pernah
tahu kepada siapa barang-barang itu kuberikan.
Adipati Wilatikta semakin marah melihat sikap
anaknya itu. Raden Said tidak menjawabnya untuk
apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang
hendak disetorkan ke Majapahit itu.
Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman,
karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali
dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman
cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian
disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar
rumah.
Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah
diterimanya ? Sesudah keluar dari hukuman dia
benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak
pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan
adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said
selanjutnya ?
Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba
hitam dan kemudian merampok harta orang-orang
kaya di kabupaten Tuban. Terutama orang kaya
yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang.
Harta hasil rampokan itupun diberikannya kepada
fakir miskin dan orang-orang yang menderita
lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik
jenuh ada saja orang yang bermaksud
mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati yang
mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat
kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan
pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan
juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said
juga.
Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja
menyelesaikan shalat IsyĆ” mendengar jerit tangis
para penduduk desa yang kampungnya sedang
dijarah perampok.
Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu
mengetahui kedatangan Raden Said, kawanan
perampok itu segera berhamburan melarikan diri.
Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik
memperkosa seorang gadis cantik. Raden Said
mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang
diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat
seseorang berpakaian seperti dirinya, juga
mengenakan topeng serupa sedang berusaha
mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia
sudah selesai memperkosa gadis itu.
Raden Said berusaha menangkap perampok itu.
Namun pemimpin rampok itu berhasil melarikan
diri. Mendadak terdengar suara kentongan di pukul
bertalu-talu, penduduk dari kampung lain
berdatangan ke tempat itu.Pada saat itulah si gadis
yang baru diperkosa perampok tadi
menghamburkan diri dan menangkap erat-erat
tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan
kebingungan.Para pemuda dari kampung lain
menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden
Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran mencoba
membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu
mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang
kepala desa jadi terbungkam. Sama sekali tak
disangkanya bahwa perampok itu adalah putra
junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah
masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap
perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa
adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu.
Sang kepala desa masih berusaha menutup aib
junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said
ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang
banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka.
Sang Adipati yang selama ini selalu merasa sayang
dan selalu membela anaknya kali ini juga naik
pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten
Tuban.
"Pergi dari Kadipaten Tuban ini !" kau telah
mencoreng nama baik keluargamu sendiri ! pergi !
jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan
dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan
ayat-ayat Al-Qur'an yang sering kau baca di malam
hari !"
Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas
kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat
menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban
ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu.
Sirna sudah segala harapan sang adipati. Hanya ada
satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan
Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden said.
Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak
mungkin melakukan perbuatan keji. Hati siapa yang
takkan hancur mengalami peristiwa seperti ini.
Raden Said bermaksud menolong fakir miskin dan
penduduk yang menderita tapi akibatnya justru dia
sendiri yang harus menelan derita. Diusir dari
Kadipaten Tub an.
Orang tua mana yang tak terpukul batinnya
mengetahui anak dambaan hati tiba-tiba berbuat
jahat dan menghancurkan nama dan masa
depannya sendiri. Tapi itulah peristiwa yang
memang harus dialami oleh Raden Said. Seandainya
tidak ada fitnah seperti itu, barangkali Raden Said
tidak bakal menjadi seorang ulama besar, seorang
Wali yang dikagumi oleh seluruh penduduk Tanah
Jawa. Raden Said betul-betul meninggalkan
Kadipaten Tuban.
Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya
itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan
ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban
untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.
Tentu saja sang ayah dan ibu kelabakan mengetahui
hal ini. Segera saja diperintahkan puluhan prajurit
Tuban untuk mencari Dewi Rasawulan tak pernah
ditemukan oleh mereka.
Di dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan bahwa
Dewi Rasawulan pada akhirnya telah ditemukan
oleh Empu Supa, seorang Tumenggung Majapahit
yang menjadi murid Sunan Kalijaga. Dewi Rasawulan
kemudian dijodohkan dengan Empu Supa. Dan
kembali ke Tuban bersama-sama dengan diantar
Sunan Kalijaga yang tak lain adalah Raden Said
sendiri.
2. MASA PENGGEMBLENGAN DIRI.
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari
Kadipaten Tuban ? Ternyata ia mengembara tanpa
tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan
Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi
perampok budiman. Mengapa disebut perampok
budiman ?
Karena hasil rampokannya itu tak pernah
dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada
fakir miskin. Yang dirampoknya hanya para
hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak
menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar
zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama
aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal
Lokajaya.
Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat
di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah
mengincarnya. Orang itu membawa sebatang
tongkat yang gagangnya berkilauan.
"Pasti gagang tongkat itu terbuat dari emas," bisik
Brandal Lokajaya dalam hati.
Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu.
Setelah dekat dia hadang langkahnya sembari
berkata, "Orang tua, apa kau pakai tongkat ?
Tampaknya kau tidak buta, sepasang matamu
masih awas dan kau juga masih kelihatan tegar,
kuat berjalan tanpa tongkat !"
Lelaki berjubah putih itu tersenyum, wajahnya
ramah, dengan suara lembut dia berkata, "Anak
muda.......... Perjalanan hidup manusia itu tidak
menentu, kadang berada di tempat terang, kadang
berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku
tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan."
"Tapi.......... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat
saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan
ini." Sahut Raden Said. Kembali lelaki berjubah putih
itu tersenyum arif, "anak muda.......... Perjalanan
hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di
tempat terang, kadang berada di tempat gelap,
dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila
berjalan dalam kegelapan."
"Tetapi.......... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat
saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan
ini." Sahut Radeb Said. Kembali lelaki berjubah putih
itu tersenyum arif, "Anak muda tongkat adalah
pegangan, orang hidup haruslah mempunyai
pegangan supaya tidak tersesat dalam menempuh
perjalanan hidupnya."
Agaknya jawab-jawab yang mengandung filosofi itu
tak menggugah hati Raden Said. Dia mendengar dan
mengakui kebenarannya tapi perhatiannya terlanjur
tertumpah kepada gagang tongkat lelaki berjubah
putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya
tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena
tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang
berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang
matanya mengeluarkan air walau tak ada suara
tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu
sedang mengamat-amati gagang tongkat yang
dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat
dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari
kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya
matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat
orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali
tongkat itu, "Jangan menangis, ini tongkatmu
kukembalikan."
"Bukan tongkat ini yang kutangisi," Ujar lelaki itu
sembari memperlihatkan beberapa batang rumput
di telapak tangannya. "Lihatlah ! Aku telah berbuat
dosa, berbuat kesiasiaan. Rumput ini tercabut ketika
aku aku jatuh tersungkur tadi."
"Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa
berdosa ?" Tanya Raden Said heran.
"Ya, memang berdosa ! Karena kau mencabutnya
tanpa suatu keperluan. Andaikata guna makanan
ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-
siaan benar-benar suatu dosa !" Jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang
mengandung nilai iman itu.
"Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di
hutan ini ?"
"Saya mengintai harta ?"
"Untuk apa ?"
"Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk
yang menderita."
"Hemm, sungguh mulia hatimu, sayang...... caramu
mendapatkannya yang keliru."
"Orang tua.......... apa maksudmu ?"
"Boleh aku bertanya anak muda ?"
"Silahkan.......... "
"Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air
kencing, apakah tindakanmu itu benar ?"
"Sungguh perbuatan bodoh," sahut Raden Said.
"Hanya manambah kotor dan bau pakaian itu saja."
Lelaki itu tersenyum, "Demikian pula amal yang kau
lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang di
dapat secara haram, merampok atau mencuri, itu
sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing."
Raden Said tercekat.
Lelaki itu melanjutkan ucapannya, "Allah itu adalah
zat yang baik, hanya menerima amal dari barang
yang baik atau halal."Raden Said makin tercengang
mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai
menghujam tubuh hatinya. Betapa keliru
perbuatannya selama ini. Di pandangnya sekali lagi
wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan
berwibawa namun mencerminkan pribadi yang
welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki
berjubah putih itu.
"Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas
kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini.
Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi
para penduduk miskin bantuan makan dan uang.
Kau harus memperingatkan para penguasa yang
zalim agar mau merubah caranya memerintah yang
sewenang-wenang, kau juga harus dapat
membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf
kehidupannya !"
Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah
yang didambakannya selama ini.
"Kalau kau tak mau kerja keras, dan hanya ingin
beramal dengan cara yang mudah maka ambillah
itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu !"
Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang
pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi
emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said
terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti,
banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya.
Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya.
Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir,
kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia
pasti dapat mengatasinya.
Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren
itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang itu
tidak mempergunakan sihir
Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia
mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar
berubah menjadi emas seluruhnya.Ia ingin
mengambil buah aren yang telah berubah menjadi
emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu
rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said.
Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan
pingsan.
Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah
berubah lagi menjadi hijau seperti arenaren lainnya.
Raden Said bangkit berdiri, mencari orang berjubah
putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di
tempat.
"Pasti dia seorang sakti yang berilmu tinggi. Menilik
caranya berpakaian tentulah dari golongan para
ulama atau mungkin salah seorang dari Waliullah,
aku harus menyusulnya, aku akan berguru
kepadanya," demikian pikir Raden Said.
Raden Said mengejar orang itu. Segenap
kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat,
akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari
kejauhan. Seperti santai saja orang itu
melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah
bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan
berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras
habis dia baru sampai di belakang lelaki berjubah
putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena
kehadiran Raden Said melainkan di depannya
terbentang sungai yang cukup lebar.Tak ada
jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam, dengan
apa dia harus menyeberang.
"Tunggu.......... " ucap Raden Said ketika melihat
orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
"Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid...... "
Pintanya.
"Menjadi muridku ?" Tanya orang itu sembari
menoleh. "Mau belajar apa ?"
"Apa saja, asal Tuan menerima saya sebagai
murid......"
"Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau
menerima syarat-syaratnya ?"
"Saya bersedia...... "
Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi
sungai. Raden Said diperintahkan menungguinya.
Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki
itu kembali menemuinya.
Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai.
Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki
itu berjalan di atas air bagaikan berjalan didaratan
saja. Kakinya tidak basah terkena air.
Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said,
pemuda itu duduk bersila, dia berdo'a kepada
Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di
goa Kahfi ratusan tahun silam. Do'anya dikabulkan.
Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga
tahun. Akar dan rerumputan telah membalut dan
hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang
menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa
dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan
adzan, pemuda itu membuka sepasang matanya.
Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru
yang bersih. Kemudian dibawa ke Tuban.Mengapa
ke Tuban ? Karena lelaki berjubah putih itu adalah
Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi
pelajaran agama sesuai dengan tingkatnya, yaitu
tingkat para Waliullah. Di kemudian hari Raden Said
terkenal sebagai Sunan Kalijaga. Kalijaga artinya
orang yang menjaga sungai.
Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah
penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa
itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan
ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam
yang benar. Ada juga yang mengartikan legenda
pertemuan Raden Said deng an Sunan Bonang
hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan
Bonang pergi selalu membawa tongkat atau
pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu
membawa agama, membawa iman sebagai
penunjuk jalan kehidupan.
Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat
atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said
diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat
Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan
dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu
dan Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai
tanpa ambles ke dalam sungai.
Bahkan sedikitpun ia tidak terkena percikan air
sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul
dengan dengan masyarakat yang berbeda agama
tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh
Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.
Raden Said sewaktu bertapa ditepi tubuhnya tidak
sampai hanyut ke aliran sungai, hanya daun, akar
dan rerumputan yang menutupi sebagian besar
anggota tubuhnya. Itu artinya Raden Said bergaul
dengan masyarakat Jawa, adat istiadat masyarakat
di pakai sebagai alat dakwah, dan diarahkan
kepada ajaran Islam yang bersih, namun usaha itu
tampaknya sedikit mengotori tubuh Raden Said dan
setelah tiga tahun Sunan Bonang membersihkannya
dengan ajaran-ajaran Islam tingkat tinggi sehingga
Raden Said masuk kegolongan para Wali. Dan
pengetahuan agamanya benar-benar telah cukup
untuk dipergunakan menyebarkan agama Islam.
Demikian sehingga tafsiran dari kisah legenda
pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang.
3. KERINDUAN SEORANG IBU.
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua
anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti
kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha
Adipati Tuban menangkap para perampok yang
mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati
ibu Raden Said seketika berguncang. Kebetulan saat
ditangkap oleh para prajurit Tuban, perampok itu
mengenakan pakaian dan topeng yang dikenakan
Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat
terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu
tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak
bersalah.
Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-
benar telah menyesal mengusir anak yang sangat
disayanginya itu. Sang ibu tak pernah tahu bahwa
anak yang didambakannya itu bertahun-tahun
kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja tidak
langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan
ketempat tinggal Sunan Bonang. Untuk mengobati
kerinduan sang ibu. Tidak jarang Raden Said
mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca
Qur'an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke
istana Tuban.
Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar
menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten.
Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan
istrinya. Tapi Raden Said, masih belum
menampakkan diri. Banyak tugas yang masih
dikerjakannya. Di antaranya menemukan adiknya
kembali. Pada akhirnya, dia kembali bersama
adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan
betapa bahagianya Adipati Tuban dan istrinya
menerima kedatangan putra-putri yang sangat
dicintainya itu.
Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan
Adipati Tuban. Dia lebih suka menjalani kehidupan
yang dipilihnya sendiri. Walau sedikit kecewa
Adipati Tuban agak terhibur, sebab suami Dewi
Rasawulan juga bukan orang sembarangan. Empu
Supa adalah seorang Tumenggung Majapahit yang
terkenal. Cucu yang lahir dari keturunan Empu.
Akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan
kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan
dan Empu Supa.
Raden Said meneruskan pengembaraannya.
Berdakwah atau menyebarkan agama Islam di Jawa
tengah hingga ke Jawa Barat. Dalam usia lanjut
beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggal nya
yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan
di Kadilangu, Demak.
4. JASA SUNAN KALIJAGA.
Jasa Sunan Kalijaga sangat sukar dihitung karena
banyaknya. Beliau dikenal sebagai Mubaligh, ahli
seni, budayawan, ahli filsafat, sebagai Dalang
Wayang Kulit dan sebagainya. Untul lebih detailnya
para pembaca dipersilahkan membaca literatur
berjudul Sunan Kalijaga yang ditulis oleh saudara
Umar Hayim, diterbitkan oleh Menara Kudus.
Di dalam buku tersebut diuraikan dengan lengkap
jasa dan karya Sunan Kalijaga.
Di dalam buku ini kami nukilkan sebagian kecil dari
karya dan jasa Sunan Kalijaga.
A. SEBAGAI MUBALIGH.
Beliau dikenal sebagai ulama besar, seorang Wali
yang memiliki karisma tersendiri diantara Wali-Wali
lainnya. Dan paling terkenal di kalangan atas
maupun dari kalangan bawah. Hal itu disebabkan
Sunan Kalijaga suka berkeliling dalam berdakwah,
sehingga beliau juga dikenal sebagai Syekh Malaya
yaitu mubaligh yang menyiarkan agama Islam
sambil mengembara. Sementara Wali lainnya
mendirikan pesantren atau pedepokan untuk
mengajar murid-muridnya.
Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat Jawa
yang pada waktu itu masih banyak menganut
kepercayaan lama tidak ditentang adat istiadatnya.
Beliau dekati rakyat yang masih awam itu dengan
cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak
memakai jubah sehingga rakyat tidak merasa
angker dan mau menerima kedatangannya dengan
senang hati.
Pakaian yang dikenakan sehari-hari adalah pakaian
adat Jawa yang di disain dan disempurnakan sendiri
secara Islami. Adat istiadat rakyat, yang dalam
pandangan Kaum Putihan dianggap bid'ah tidal
langsung ditentang olehnya selaku Pemimpin Kaum
Abangan. Pendiriannya adalah rakyat dibuat senang
dulu, direbut simpatinya sehingga mau menerima
agama Islam, mau mendekat pada para Wali.
Sesudah itu barulah mereka diberi pengertian Islam
yang sesungguhnya dan dianjurkan membuang adat
yang bertentangan dengan agama Islam.
Kesenian rakyat baik yang berupa gamelan, gencing
dan tembang-tembang dan wayang dimanfaatkan
sebesar-besarnya sebagai alat dakwah. Dan ini
ternyata membawa keberhasilan yang gemilang,
hampir seluruh rakyat Jawa pada waktu itu dapat
menerima ajakan Sunan Kalijaga untuk mengenal
agama Islam.
B. SUNAN KALIJAGA SEBAGAI AHLI BUDAYA.
Gelar tersebut tidak berlebihan karena beliaulah
yang pertama kali menciptakan seni pakaian, seni
suara, seni ukir, seni gamelan, wayang kulit, bedug
di mesjid, Gerebeg Maulud, seni Tata Kota dan lain-
lain.
a. Seni Pakaian :
Beliau yang pertama kali menciptakan baju taqwa.
Baju taqwa ini pada akhirnya disempurnaka oleh
Sultan Agung dengan dester nyamping dan keris
serta rangkaian lainnya. Baju ini masih banyak di
pakai oleh masyarakat Jawa, setidaknya pada
upacara pengantin.
b. Seni Suara :
Sunan Kalijagalah yang pertama kali menciptakan
tembang Dandang Gula dan Dandang Gula
Semarangan.
c. Seni Ukir :
Beliau pencipta seni ukir bermotif dedaunan, bentuk
gayor atau alat menggantungkan gamelan dan
bentuk ornamentik lainnya yang sekarang dianggap
seni ukir Nasional.
Sebelum era Sunan Kalijaga kebanyakan seni ukir
bermotifkan manusia dan binatang.
d. Bedug atau Jidor di Mesjid :
Beliaulah yang pertama kali mempunyai ide
menciptakan Bedug di masjid, yaitu memerintahkan
muridnya yang bernama Sunan Bajat untuk
membuat Bedug di masjid Semarang guna
memanggil orang untuk pergi mengerjakan shalat
jama'ah.
e. Gerebeg Maulud :
Ini adalah acara ritual yang diprakarsai Sunan
Kalijaga, asalnya adalah tabliqh atau mengajian
akbar yang diselenggarakan para wali di Masjid
Demak untuk memperingati Maulud Nabi.
f. Gong Sekaten :
Adalah gong ciptaan Sunan Kalijaga yang nama
aslinya adalah Gong Syahadatain yaitu dua kalimah
Syahadat. Bila gong itu dipukul akan berbunyi
bermakna :di sana di situ, mumpung masih hidup,
berkumpullah untuk masuk agama Islam.
g. Pencipta Wayang Kulit :
Pada jaman sebelum Sunan Kalijaga, wayang
bentuknya adalah sebagai berikut;
Adegan demi adegan wayang tersebut digambar
pada sebuah kertas dengan gambar ujud
manusia.Dan ini diharamkan oleh Sunan Giri. Karena
diharamkan oleh Sunan Giri, Suna Kalijaga membuat
kreasi baru, bentuk wayang dirubah sedemikian
rupa, dan digambar atau di ukir pada sebuah kulit
kambing, satu lukisan adalah satu wayang, sedang
di jaman sebelumnya satu lukisan adalah satu
adegan. Gambar yang ditampilkan oleh Sunan
Kalijaga tidak bisa disebut gambar manusia, mirip
karikatur bercita rasa tinggi. Diseluruh dunia hanya
di Jawa inilah ada bentuk wayang seperti yang kita
lihat sekarang.Itulah ciptaan Sunan Kalijaga.
h. Sebagai Dalang :
Bukan hanya pencipta wayang saja, Sunan Kalijaga
juga pandai mendalang. Sesudah peresmian Masjid
Demak dengan shalat Jum'ah, beliaulah yang
mendalang bagi pagelaran wayang kulit yang
diperuntukkan menghibur dan berdakwah kepada
rakyat.
Lakon yang dibawakan seringkali ciptaannya sendiri,
seperti ; Jimat Kalimasada, Dewi Ruci, Petruk Jadi
Raja, Wahyu Widayat dan lain-lain.
Dalang dari kata "dalla" artinya menunjukkan jalan
yang benar.
i. Ahli Tata Kota :
Baik di Jawa maupun Madura seni bangunan Tata
Kota yang dimiliki biasanya selalu sama.Sebab Jawa
dan Madura mayoritas penduduknya adalah Islam.
Para penguasanya kebanyakan meniru cara Sunan
Kalijaga dalam membangun Tata Kota.
Tehnik bangunan Kabupaten atau Kota Praja
biasanya terdiridari :
1. Istana atau Kabupaten
2. Alun-alun
3. Satu atau dua pohon beringin
4. Masjid
Letaknya juga sangat teratur, bukan
sembarangan.Alun-alun ;berasal dari kata "Allaun"
artinya banyak macam atau warna. Diucapkan dua
kali "Allaun-allaun" yang maksudnya menunjukkan
tempat bersama ratanya segenap rakyat dan
penguasa di pusatkota.
Waringin : dari kata "Waraa'in artinya orang yang
sangat berhati-hati. Orang-orang yang berkumpul
di alun-alun itu sangat hati-hati memelihara dirinya
dan menjaga segala hukum atau undang-undang,
baik undang-undang negara atau undang-undang
agama yang dilambangkan dengan dua pohon
beringin yaitu Al-Qur'an dan hadits Nabi. Alun-alun
biasanya berbentuk segi empat hal ini dimaksudkan
agar dalam menjalankan ibadah seseorang itu harus
berpedoman lengkap yaitu syariat, hadiqat dan
tariqat dan ma'rifat. Jadi tidak dibenarkan hanya
mempercayai yang hakikat saja tanpa mengamalkan
syariat agama Islam.
Untuk itu disediakan Masjid sebagai pusat kegiatan
ibadah.
Letak istana atau kantor kabupaten : letak istana
atau pendapat kabupaten biasanya berhadapan
dengan alun-alun dan pohon beringin. Letak istana
atau kabupaten itu biasanya menghadap ke laut dan
membelakangi gunung. Ini artinya para penguasa
harus menjauhi kesombongan, sedang menghadap
ke laut artinya penguasa itu hendaknya berhati
pemurah dan pemaaf seperti luasnya laut. Sedang
alun-a lun dan pohon beringin yang berhadapan
dengan istana atau kabupaten artinya penguasa
harus selalu mengawasi jalannya undang-undang
dan rakyatnya.
 

KISAH SUNAN GUNUNG JATI

KISAH SUNAN GUNUNG JATI

1. ASAL USUL.
Sebelum era Sunan Gunung Jati berdakwah di Jawa
Barat. Ada seorang ulama besar dari Bagdad telah
datang di daerah Cirebon bersama duapuluh dua
orang muridnya. Ulama besar itu bernama Syekh
Kahfi. Ulama inilah yang lebih dahulu menyiarkan
agama Islam di sekitar daerah Cirebon.
Al-Kisah, putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran
bernama Pangeran Walangsungsang dan adiknya
Rara Santang pada suatu malam mendapat mimpi
yangsama.Mimpi itu terulang hingga tiga kali yaitu
bertemu dengan Nabi Muhammad yang
mengajarkan agama Islam.
Wajah Nabi Muhammad yang agung dan caranya
menerangkan Islam demikian mempersona
membuat kedua anak muda itu merasa rindu.Tapi
mimpi itu hanya terjadi tiga kali.
Seperti orang kehausan, kedua anak muda itu
mereguk air lebih banyak lagi, air yang akan
menyejukkan jiwanya itu agama Islam. Kebetulan
mereka telah mendengar adanya Syekh Dzatul Kahfi
atau lebih muda disebut Syekh Datuk Kahfi yang
membuka perguruan Islam di Cirebon. Mereka
mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi
untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, mereka
ingin memperdalam agama Islam seperti ajaran
Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka
ditolak oleh Prabu Siliwangi.
Pangeran Walangsungsang dan adiknya nekad,
keduanya melarikan diri dari istana dan pergi
berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati.
Setelah berguru beberapa lama di Gunung Jati,
Pangeran Walangsungsang diperintahkan oleh
Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan di bagian
selatan Gunung Jati. Pangeran Walangsungsang
adalah seorang pemuda sakti, tugas itu
diselesaikannya hanya dalam beberapa hari. Daerah
itu dijadikan pendukuhan yang makin hari banyak
orang berdatangan menetap dan menjadi pengikut
Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah itu ramai
Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala
Dukuh dengan gelar Cakrabuana. Daerahnya
dinamakan Tegal Alang-alang.
Orang yang menetap di Tegal Alang-alang terdiri
dari berbagai rasa atau keturunan, banyak pula
pedagang asing yang menjadi penduduk tersebut,
sehingga terjadilah pembauran dari berbagai ras
dan pencampuran itu dalam bahasa Sunda disebut
Caruban.Maka Legal Alang-alang disebut Caruban.
Sebagian besar rakyat Caruban mata pencariannya
adalah mencari udang kemudian dibuatnya menjadi
petis yang terkenal.
Dalam bahasa Sunda Petis dari air udang itu, Cai
Rebon. Daerah Carubanpun kemudian lebih dikenal
sebagai Cirebon hingga sekarang ini. Setelah
dianggap memenuhi syarat, Pangeran Cakrabuana
dan Rarasantang di perintah Datuk Kahfi untuk
melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Di Kota
Suci Mekkah, kedua kakak beradik itu tinggal di
rumah seorang ulama besar bernama Syekh
Bayanillah sambil menambah pengetahuan agama.
Sewaktu mengerjakan tawaf mengelilingi Ka'bah
kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang
Raja Mesir bernama Sultan Syarif Abdullah yang
sama-sama menjalani Ibadah haji. Raja Mesir itu
tertarik pada wajah Rarasantang yang mirip
mendiang istrinya.
Sesudah ibadah haji diselesaikan Raja Mesir itu
melamar Rarasantang pada Syekh Bayanillah.
Rarasantang dan Pangeran Cakrabuana tidak
keberatan. Maka dilangsungkanlah pernikahan
dengan cara Mazhab Syafi'i. Nama Rarasantang
kemudian diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari
perkawinan itu lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif
Nurullah.
Pangeran Cakrabuana sempat tinggal di Mesir
selama tiga tahun. Kemudian pulang ke Jawa dan
mendirikan Negeri Caruban Larang. Negeri Caruban
Larang adalah perluasan dari daerah Caruban atau
Cirebon, pola pemerintahannya menggunakan azas
Islami. Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan
putri Pangeran Cakrabuana yaitu Pakungwati.
Dalam waktu singkat Negeri Caruban Larang telah
terkenal ke seluruh Tanah Jawa, terdengar pula
oleh Prabu Siliwangi selaku penguasa daerah Jawa
Barat. Setelah mengetahui negeri baru tersebut
dipimpin putranya sendiri, maka sang Raja tidak
keberatan walau hatinya kurang berkenan. Sang
Prabu akhirnya juga merestui tampuk pemerintahan
putranya, bahkan sang Prabu memberinya gelar Sri
Manggana.
Sementara itu dalam usia muda Syarif Hidayatullah
ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk
menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir,
tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun
itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke
tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan
ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya
yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah
berguru kepada beberapa ulama besar didaratan
Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah
sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah
leluhurnya yaitu Jawa, ia tidak merasa kesulitan
melakukan dakwah.
2. PERJUANGAN SUNAN GUNUNG JATI.
Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah
dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan
Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan
Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar
adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja
Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di
Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan
Gunungjati.
Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai
yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan
Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis.
Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati
adalah makam dekat Sultan Gunungjati yang ada
tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau
Faletehan menurut lidah orang Portugis. Syarif
Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda'im datang di
negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475
sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk
menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut
gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan
keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru
Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda'im itu
dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar
selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah
Muda'im minta agar diijinkan tinggal di
Pasambangan atau Gunungjati.
Syarifah Muda'im dan putranya yaitu Syarif
Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi
membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga
kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal
dengan sebutan Sunan Gunungjati.
Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana
menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan
Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun
1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran
Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri
Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar
Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi.
Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya
Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk
mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang
Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau.
Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia
tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam
di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian
melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk
Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan
banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang
sering singgah ke tempat itu.
Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh
adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah
dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang
bernama Nyi Kawungten.
Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah
di karuniai dua orang putra yaitu Nyi Ratu Winaon
dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan
agama islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau
sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali
lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau
juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari
pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali
lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan
Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan
diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon
tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang
biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan
oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa
yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka
dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang
dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah
menangkap Syarif Hidayatullah yang dianggap
lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan
Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya
dan anak buahnya malah tidak kembali ke
Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi
pengikut Syarif Hidayayullah.
Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan
ke Cirebon maka makin bertambah besarlah
pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah
lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga
dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah
Kasultanan Cirebon.
Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara
Jati, makin bertambah besarlah pengaruh
Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari
negeri asing datang menjalin persahabatan.
Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang
keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar
dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu
Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri
Cina makin erat.
Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke
negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina
yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang
pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam.
Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin
erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina,
hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk
dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong
Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara
Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini
membekali putranya dengan harta benda yang tidak
sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan
putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu
sampai sekarang masih ada dan tersimpan di
tempat yang aman.
Istana dan Masjid Cireb as pengembangan Islam di
seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa
menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon
yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran
sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa
Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan
kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa
yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku
penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang
mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu
Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran
Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka.
Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan
Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur
mendirikan benteng yang kuat di Malaka.
Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang
pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut
berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi
bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau
ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Raden Patah wafat pada tahun 1518,
berkedudukannya digantikan oleh Adipati Unus atau
Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan
muncullah pemberontakan pemberontakan dari
daerah pedalaman, didalam usaha memadamkan
pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor
meninggal dunia, gugur sebagai pejuang sahid.
Pada tahun 1521 Sultan Demak di pegang oleh Raden
Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam
pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah
diangkat sebagai Panglima Perang yang akan
ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa.
Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan
Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat
senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang
dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan
Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa
yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran.
Mengapa Pajajaran membantu Portugis ? Karena
Pajajaran merasa iri dan dendam pada
perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas,
ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu
merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon
maka Raja Pajajaran menyetujuinya.
Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu
tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ? Karena
Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang
melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya
Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman
adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya
bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik
lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia
dapat memberi komando dengan tepat dan setiap
serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil
gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah,
Portugis kembali ke Malaka, sedangkan Pajajaran
cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya
Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari
gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa
pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui
kesulitan karena Fatahillah dibantu putra Sunan
Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking.
Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi
penguasa Banten dengan gelar Pangeran
Hasanuddin.
Fatahillah kemudian diangkat segenap Adipati di
Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa
menjadi Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku
Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk
meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata
di Jawa Barat.
Berturut-turut Fatahillah dapat menaklukkan daerah
TALAGA sebuah negara kecil yang dikuasai raja
Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian
kerajaan Galuh yang hendak meneruskan
kebesaran Pajajaran lama.Raja Galuh ini bernama
Prabu Cakraningrat dengan senopatinya yang
terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat
membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan
senopatinya tewas dalam peperangan itu.
Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih
Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil
ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati
menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu.
Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati
Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus
Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin
tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran
Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua
dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah
yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai
Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang
Sultan.
Sunan Gunung Jati lebih memusatkan diri pada
penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau
Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak
pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad
Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya.
Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada
Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan
Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di
Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap
digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya
bergelar Adipati.Yaitu Adipati Carbon I. Adpati
Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang
diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunung
Jati.
Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria
Kamuning.
Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam
usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran
Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung
Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai
Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang
sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa
diperantarai apapun juga. Demikianlah riwayat
perjuangan Sunan Gunungjati.
 

KISAH SUNAN GRESIK

KISAH SUNAN GRESIK

Matahari baru saja tenggelam di Desa Tanggulangin,
Gresik, Jawa Timur. Rembulan dan bintang giliran
menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk
desa tampak ceria menyambut cuaca malam itu.
Sebagian mereka berbincang santai di beranda,
duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar
suara gemuruh. Makin lama makin riuh.
Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di
perbatasan desa terlihat gerombolan pasukan
berkuda --berjumlah sekitar 20 orang. Warga
Tanggulangin berebut menyelamatkan diri --
bergegas masuk ke rumahnya masing-masing.
Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk
Penjalin. Ia berperawakan tinggi, kekar, dengan
wajah bercambang bauk.
''Serahkan harta kalian,'' sergah Penjalin, jawara
yang tak asing di kawasan itu. ''Kalau menolak,
akan kubakar desa ini.'' Tak satu pun penduduk
yang sanggup menghadapi. Mereka memilih
menyelamatkan diri, daripada ''ditekuk-tekuk'' oleh
Penjalin. Merasa tak digubris, kawanan itu siap
menghanguskan Tanggulangin.
Obor-obor hendak dilemparkan ke atap rumah-
rumah penduduk. Tetapi, mendadak niat itu terhenti.
Sekelompok manusia lain, berpakaian putih-putih,
tiba-tiba muncul entah dari mana. Rombongan ini
dipimpin Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama
terkenal yang mulai meluaskan pengaruhnya di
wilayah Gresik dan sekitarnya.
Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke depan.
Dengan sopan ia mengingatkan kelakuan tak terpuji
Penjalin. Penjalin tentu tak terima. Apalagi, orang
yang mengingatkannya sama sekali tak dikenal di
rimba persilatan Gresik. Dalam waktu singkat,
terjadilah pertarungan seru. Penduduk Tanggulangin,
yang melihat pertempuran itu, rame-rame keluar,
lalu membantu Ghafur.
Akhirnya, Penjalin dan pasukannya kocar-kacir.
Tapi, Penjalin tak mau menuruti perintah Ghafur
agar membubarkan anak buahnya. Ghafur tak
punya pilihan lain, ia harus membunuh Penjalin.
Baru saja tiba pada keputusan itu, tiba-tiba
wajahnya diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali.
Aneh, di puncak kemarahan itu, ia malah melangkah
surut.
Penjalin terperangah. ''Mengapa tak jadi membunuh
aku?'' ia bertanya. Ghafur menjawab, ''Karena kamu
telah membuatku marah, dan aku tak boleh
menghukum orang dalam keadaan marah.''
Mendengar ''dakwah'' ini, disusul oleh perbincangan
singkat, Penjalin dan gerombolannya menyatakan
tertarik memeluk agama Islam.
Petikan di atas merupakan satu dari dua kisah
populer tentang perjalanan dakwah Syekh Maulana
Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Sunan
Gresik. Satu cerita lagi yang kerap ditulis pengarang
buku-buku Maulana Malik Ibrahim adalah
pertemuannya dengan sekawanan kafir di tengah
padang pasir.
Ketika itu, mereka hendak menjadikan seorang
gadis sebagai tumbal meminta hujan kepada dewa.
Pedang sudah dihunus. Sunan Gresik mendinginkan
mereka dengan pembicaraan yang lembut,
kemudian memimpin salat Istisqa' --untuk
memohon hujan. Tak lama kemudian langit
mencurahkan butir-butir air, Kawanan kafir itu
memeluk agama Islam.
Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim
disebut-sebut sebagai wali paling senior, alias wali
pertama. Ada sejumlah versi tentang asal usul Syekh
Magribi, sebutan lain Sunan Gresik itu. Ada yang
mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan
Gujarat (India). Sumber lain menyebutkan ia lahir di
Campa (Kamboja).
Setelah cukup dewasa, Maulana Malik Ibrahim
diminta ayahnya, Barebat Zainul Alam, agar
merantau, berdakwah ke negeri selatan. Maka,
bersama 40 anggota rombongan yang
menyertainya, Malik mengarungi samudra berhari-
hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu, Gresik,
pada 1380 M. Mengenai tahun ''pendaratan'' ini pun
terdapat beberapa versi.
Buku pegangan juru kunci makam Maulana Malik
Ibrahim, misalnya, mencantumkan tahun 1392.
Beberapa naskah lain bahkan menyebut tahun
1404. Rombongan Malik kemudian menetap di Desa
Leran, sekitar sembilan kilometer di barat kota
Gresik. Ketika itu, Gresik berada di bawah Kerajaan
Majapahit.
Dari sinilah Malik mulai meluncurkan dakwahnya,
dengan gaya menjauhi konfrontasi. Sebagian besar
masyarakat setempat ketika itu menganut Hindu,
''agama resmi'' Kerajaan Majapahit. Sunan
melalukan sesuatu yang sangat sederhana:
membuka warung. Ia menjual rupa-rupa makanan
dengan harga murah.
Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi
orang. Malik melangkah ke tahap berikutnya:
membuka praktek sebagai tabib. Dengan doa-doa
yang diambil dari Al-Quran, ia terbukti mampu
menyembuhkan penyakit. Sunan Gresik pun seakan
menjelma menjadi ''dewa penolong''. Apalagi, ia tak
pernah mau dibayar.
Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu, Sunan
Gresik cepat dikenal, karena ia sanggup menerobos
sekat-sekat kasta. Ia memperlakukan semua orang
sama sederajat. Berangsur-angsur, jumlah
pengikutnya terus bertambah. Setelah jumlah
mereka makin banyak, Sunan Gresik mendirikan
masjid.
Ia juga merasa perlu membangun bilik-bilik tempat
menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah
yang kemudian dikenal dengan nama pesantren.
Dalam mengajarkan ilmunya, Malik punya
kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab
hadis di atas bantal. Karena itu ia kemudian dijuluki
''Kakek Bantal''.
Kendati pengikutnya terus bertambah, Malik merasa
belum puas sebelum berhasil mengislamkan Raja
Majapahit. Ia paham betul, tradisi Jawa sarat
dengan kultur ''patron-client''. Rakyat akan selalu
merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Karena
itu, mengislamkan raja merupakan pekerjaan yang
sangat strategis.
Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung berdakwah
ke raja, pasti tak akan digubris, karena posisinya
lebih rendah. Karena itu ia meminta bantuan
sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain. Konon,
Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Tetapi J.
Wolbers, dalam bukunya Geschiedenis van Java,
menyebut Cermain tak lain adalah Kerajaan Gedah,
alias Kedah, di Malasyia.
Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya,
Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal. Dewi
yang berwajah elok itu akan dipersembahkan
kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabang-
cabanglah cerita mengenai ''Raja Majapahit'' itu..
Ada yang menyebut raja itu Prabu Brawijaya V.
Tetapi menurut Wolbers, raja tersebut adalah
Angkawijaya.
Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam bukunya,
Riwayat Maulana Malik Ibrahim, nama Angkawijaya
tidak dikenal, baik dalam Babad Tanah Jawi
maupun Pararaton. Nama Angkawijaya tercantum
dalam Serat Kanda. Di situ disebutkan, dia adalah
pengganti Mertawijaya, alias Damarwulan --suami
Kencana Wungu.
Angkawijaya mempunyai selir bernama Ni Raseksi.
Tetapi, kalau dicocokkan dengan Babad Tanah Jawi,
raja Majapahit yang mempunyai selir Ni Raseksi
adalah Prabu Brawijaya VII. Cuma, menurut catatan
sejarah, Prabu Brawijaya VII memerintah pada
1498-1518. Periode ini jadi ''bentrokan'' dengan
masa hidup Maulana Malik Ibrahim.
Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja yang
dimaksud adalah Hyang Wisesa, alias
Wikramawardhana, yang memerintah pada
1389-1427. Terlepas dari siapa sang raja
sebenarnya, yang jelas penguasa Majapahit itu
akhirnya bersedia menemui rombongan Raja
Cermain. Sayang, usaha mereka gagal total.
Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari, tetapi
menolak masuk Islam. ''Bargaining'' seperti ini tentu
diotolak rombongan Cermain. Sebelum pulang ke
negerinya, rombongan Cermain singgah di Leran.
Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka
menetap di rumah Sunan Gresik.
Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba merajalelalah
wabah penyakit. Banyak anggota rombongan
Cermain yang tertular, bahkan meninggal. Termasuk
Dewi Sari. Raja Cermain dan sebagian kecil
pengawalnya akhirnya bisa pulang ke negeri
mereka. Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan
kegagalan ''misi'' itu. Ia terus melanjutkan
dakwahnya hingga wafat, pada 1419.
 

KISAH SUNAN GIRI

KISAH SUNAN GIRI

SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah
gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT,
ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening
malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak,
kembali terngiang: ''Kelak, bila tiba masanya,
dirikanlah pesantren di Gresik.'' Pesan yang tak
terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis
dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai
bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di
sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia
kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula
Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam
bahasa Sansekerta, ''giri'' berarti gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan
kebesaran Pesantren Giri --yang berkembang
menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga
bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu
hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer
dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah
langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid,
tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada
juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1
x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung.
''Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,''
kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam
Sunan Giri, kepada GATRA.
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru
Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok,
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad
Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran
sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren
Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih,
karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas
Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat,
yang dianggapnya merusak kemurnian Islam.
Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin
kaum ''putihan'', aliran yang didukung Sunan Ampel
dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap
cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan
Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan
pendekatan kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat
sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan
Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para
wali ini sempat memuncak pada peresmian Masjid
Demak. ''Aliran Tuban'' --Sunan Kalijaga cs--ingin
meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi,
menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap
haram, karena gambar wayang itu berbentuk
manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia
mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis
dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang
beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan
Ampel, ''ketua'' para wali, wafat pada 1478, Sunan
Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan
Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9
Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari
jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan
Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli
politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun
peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di
keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan
rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai
kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan
Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri.
Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas
sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu,
dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah
kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah
sejarah Through Account of Ambon, serta berita
orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku.
Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri
disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma,
atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak
pun, peran Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang
Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478,
Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan.
Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan
tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada
Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya
Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan
dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa.
Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja
di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri
lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan
pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga
tidak jelas batas wilayahnya.
Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah
ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari
Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya
Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan
bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri
bermula ketika Maulana Ishak tertarik mengunjungi
Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama
Islam.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih
sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah
Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan
sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja
Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit.
Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.
Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa
yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki
akan dijodohkan dengannya, bila perempuan
dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada
seorang pun yang sanggup memenangkan
sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu
mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa
sakti.
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan
seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya.
Resi inilah yang memberi ''referensi'' tentang Syekh
Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau
mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak
Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam.
Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana
Ishak pun dipenuhi.
Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam.
Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan
Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu
tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia
malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil
mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia
berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan
mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh
Maulana Ishak.
Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya
meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai.
Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada
Dewi Sekardadu --yang sedang mengandung tujuh
bulan-- agar anaknya diberi nama Raden Paku.
Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak
Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak
Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam
sebuah peti.
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal
dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali.
Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih,
pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang
kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan
dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko
Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel,
untuk belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar
''Maulana `Ainul Yaqin''. Setelah bertahun-tahun
belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden
Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel
untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus
singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh
Maulana Ishak.
Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan
Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah
belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali
ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali
Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu
memintanya mendirikan pesantren di sebuah
tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan
yang diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada.
Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas.
Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti
para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506
Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di
Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik,
Jawa Timur.
 

KISAH SUNAN DRAJAT

KISAH SUNAN DRAJAT

Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang
punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal
sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih
banyak nama lain yang disandangnya di berbagai
naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan
Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam,
Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran
Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.
Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan
dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati.
Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan
Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri,
Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan
seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan
halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang
mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa
kanak dan remajanya di kampung halamannya di
Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia
diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk
berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke
Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak
berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya,
dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah
perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah
dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah
barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan
berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia
ditolong ikan cucut dan ikan talang --ada juga yang
menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim
berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian
dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati.
Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar
1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik
oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu
dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh
pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di
sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim
kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan
Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak,
Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan
akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan
penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil,
lambat laun berkembang menjadi kampung besar
yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar.
Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan,
sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang
lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim
hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan
Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap
tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah
Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak,
penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan
baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa
hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai
daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang
marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka
meneror penduduk pada malam hari, dan
menyebarkan penyakit. Namun, berkat
kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi.
Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat
bersama para pengikutnya membangun
permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat
menempati sisi perbukitan selatan, yang kini
menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai
Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh
di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang
menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran
Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem
Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini
dibangun sebuah museum tempat menyimpan
barang-barang peninggalan Sunan Drajat --
termasuk dayung perahu yang dulu pernah
menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat
tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan
dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan
kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para
pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik
melalui perkataan maupun perbuatan. ''Bapang den
simpangi, ana catur mungkur,'' demikian petuahnya.
Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan
yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi
melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep
dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa
memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan
menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian
secara langsung di masjid atau langgar. Kedua,
melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam
menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan
Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur
dengan iringan gending. Terakhir, ia juga
menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat
tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring
teken marang kang kalunyon lan wuta; paring
pangan marang kang kaliren; paring sandang
marang kang kawudan; paring payung kang
kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang
buta; berikan makan kepada yang kelaparan;
berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan
payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan
masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari
perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa
aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus
yang, konon, merajalela selama dan setelah
pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga
berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan
penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
''Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,'' katanya
dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga
yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan
ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para
wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan
kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan
Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia
merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut
wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia
berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu
memancar air bening --yang kemudian menjadi
sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat
disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah
menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa
Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar,
putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi.
Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat
adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati.
Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden
Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji
kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif
Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga
kini, memang ada tradisi ''saling memuridkan''.
Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi
Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia
pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran
Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang
menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi
kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup
makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat,
Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah
masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat.
Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat
mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan
Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau
Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan
anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang
menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah
dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai
empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa
meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak
setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali
Sanga babadipun Para Wali mencatat: ''Duk samana
anglaksanani, mangkat sakulawarga....'' Sewaktu
diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon
berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di
mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah?
Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno
untuk menjawabnya.
Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad,
kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa
Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun
Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di
jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di
bidang kesenian.
 

KISAH SUNAN BONANG

KISAH SUNAN BONANG

Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan
Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana
Makhdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi
Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah
putri Prabu Kertabumi ada pula yang berkata
bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat
Adipati Tuban yang sudah beragama Islam yaitu
Ario Tejo.
Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap
Mufti atau pemimpin agama se Tanah Jawa,tentu
saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat
tinggi.
Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi
pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha
para Wali itu lebih berat dari pada orang awam.
Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang
besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga
mempersiapkan sebaik mungkin. Disebutkan dari
berbagai literature bahwa Raden Makdum Ibrahim
dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan
pelajaran agama Islam hingga ke Tanah
seberang,yaitu Negeri Pasai. Keduanya menambah
pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau
ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada
para ulama besar yang banyak menetap di Negeri
Pasai.Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari
Bagdad, Mesir, Arab dan Persi atau Iran. Sesudah
belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan
Raden Paku pulang keJawa. Raden Paku kembali ke
Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga
terkenal sebagai Sunan Giri.
Sedang Raden Makdum Ibrahim diperintahkan
Sunan Ampel untuk berdakwah diTuban. Dalam
berdakwa Raden Makdum Ibrahim ini sering
mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik
simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan
yang disebut Bonang.
Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan
dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan
kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu
ditelinga penduduk setempat. Lebih -lebih bila
Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan
alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang
mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga
beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi
para pendengarnya. Setiap Raden Makdum Ibrahim
membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk yang
datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit
dari mereka yang ingin belajar membunyikan
Bonang sekaligus melagukan tembang -tembang
ciptaan Raden Makdum Ibrahim.
Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang
dijalankan penuh kesabaran.Setelah rakyat berhasil
direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran
Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum
Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran
agama Islam.Sehingga tanpa terasa penduduk sudah
mempelajari agama Islam dengan senang hati,
bukan dengan paksaan.
Diantara tembang yang terkenal ialah :
"Tamba ati iku sak warnane,
Maca Qur'an angen-angen sak maknane,
Kaping pindho shalat sunah lakonona,
Kaping telu wong kang saleh kancanana,
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe,
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe,
Sopo wongƩ bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah
nyemba dani.
Artinya :
Obat sakit jiwa ( hati ) itu ada lima jenisnya.
Pertama membaca Al-Qur'an dengan artinya,
Kedua mengerjakan shalat malam ( sunnah
Tahajjud ),
Ketiga sering bersahabat dengan orang saleh
( berilmu ),
Keempat harus sering berprihatin ( berpuasa ),
Kelima sering berdzikir mengingat Allah di waktu
malam,
Siapa saja mampu mengerjakannya, Insya Allah
Tuhan Allah mengabulkan.
Hingga sekarang lagi ini sering dilantunkan para
santri ketika hendak shalat jama'ah, baik di
pedesaan maupun dipesantren. Murid-murid Raden
Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang
berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun
Madura. Karena beliau sering mempergunakan
Bonang dalam berdakwah maka masyarakat
memberinya gelar Sunan Bonang. Beliau juga
menciptakan karya sastra yang disebut Suluk.Hingga
sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap
sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan
dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan
Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas
Leiden, Belanda. (Nederland )
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk
penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut
membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh
masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal sebagai
pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang
memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung sebagai
panglima tentara Islam Demak.
Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula
yang mengangkat Sunan Kudus sebagai panglima
perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada
Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi
Majapahit. Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil
dalam membuat keputusan yang memuaskan
banyak orang, melalui sidang-sidang ''pengadilan''
yang dipimpinnya.
Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti
Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Lokasi
''pengadilan'' itu sendiri punya dua versi. Satu versi
mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung
Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan,
sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung Demak.
Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan
Raden Patah.
Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang
mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya
Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari
Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-
Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran
Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan
disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama:
tasawuf, ussuludin, dan fikih.
Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan
Bonang menjadi penting karena menunjukkan
bagaimana orang Islam menjalani kehidupan
dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada
Allah. Para penganut Islam harus menjalankan,
misalnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat.
Selain itu, manusia harus menjauhi tiga musuh
utama: dunia, hawa nafsu, dan setan.
Untuk menghindari ketiga ''musuh'' itu, manusia
dianjurkan jangan banyak bicara, bersikap rendah
hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas
nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus menjauhi
sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat
dan kehormatan. Menurut Gunning dan Schrieke,
naskah ajaran Sunan Bonang merupakan naskah
Wali Songo yang relatif lebih lengkap.
Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan
kalaupun ada, tak begitu lengkap. Di situ disebutkan
pula bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari
ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana
Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan
Kalijaga, dan Sunan Muria.
Dikisahkan beliau pernah menaklukkan seorang
pemimpin perampok dan anak buahnya hanya
mempergunakan tambang dan gending. Dharma
dan irama Mocopa,t Begitu gending ditabuh
Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu
bergerak, seluruh persendian mereka seperti
dilolosi dari tempatnya. Sehingga gagallah mereka
melaksanakan niat jahatnya.
"Ampun.......... hentikanlah bunyi gamelan itu, kami
tidak kuat !" Demikian rintih Kebondanu dan anak
buahnya.
"Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak
berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati
kalian tidak buruk dan jahat."
"Ya, kami menyerah, kami tobat !Kami tidak akan
melakukan perbuatan jahat lagi, tapi.......... "
Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.
"Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu !" ujar
Sunan Bonang.
"Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami
yang sudah tak terhitung lagi banyaknya," kata
Kebondanu dengan ragu. "Kami sudah sering
merampok, membunuh dan melakukan tindak
kejahatan lainnya."
"Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja," kata
Sunan Bonang. "Allah adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun dan Penerima tobat."
"Walau dosa kami setinggi gunung ?" Tanya
Kebondanu.
"Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak
pasir dilaut."
Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan
menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian
pula anak buahnya. Pada suatu ketika juga ada
seorang Brahmana sakti dari India yang berlayar ke
Tuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan
berdebat tentang masalah keagamaan dengan
Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju
Tuban, perahunya terbalik dihantam badai.
Walaupun ia dan para pengikutnya berhasil
menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang
hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan
Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Di tepi pantai
mereka melihat seorang lelaki berjubah putih
sedang berjalan sembari membawa tongkat.
Mereka menghentikan lelaki itu dan menyapanya.
Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan
menancapkan tongkatnya ke pasir.
"Saya datang dari India hendak mencari seorang
ulama besar bernama Sunan Bonang."kata sang
Brahmana.
"Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang?" tanya
lelaki itu.
"Akan saya ajak berdebat tentang masalah
keagamaan,kata sang Brahmana."Tapi sayang kitab
- kitab yang saya bawa telah tenggelam kedasar
laut."
Tanpa banyak bicara lelaki itu mencabut tongkatnya
yang menancap dipasir,mendadak tersemburlah air
dari lubang tongkat itu, membawa keluar semua
kitab yang dibawa sang Brahmana.
"Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam kedasar
laut?"Tanya lelaki itu.
Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-
kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri.
Berdebarlah hati sang Brahmana sembari
menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah
putih itu.
"Apakah nama daerah tempat saya terdampar
ini?"tanya sang Brahmana
"Tuan berada dipantai Tuban !"jawab lelaki itu.Serta
merta Brahmana dan para pengikutnya
menjatuhkan diri berlutut dihadapan lelaki
itu.Mereka sudah dapat mendiga pastilah lelaki
berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.
Siapalagi orang sakti berilmu tinggi yang berada
dikota Tuban selain Sunan Bonang.Sang Brahmana
tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan
Bonang untuk adu kesaktian dan mendebat masala
Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang
ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan
satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban,
Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari
tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman
dibatasi tembok berpintu gerbang.Adalagi legenda
aneh tentang Sunan Bonang.Sewaktu beliau wafat,
jenasahnya hendak dibawa ke Surabaya untuk
dimakamkan disamping Sunan Ampel yaitu
ayahandanya.Tetapi kapal yang digunakan
mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak
sehingga terpaksa jenazahnya Sunan Bonang
dimakamkan di Tuban yaitu disebelah barat Masjid
Jami 'Tuban.
 

10 Mei 2012

7 Tive Wanita yang di jauhi laki-laki

Susah dapat pacar atau tidak ada kelanjutan hubungan setelah kencan pertama? Mungkin perilaku Anda penyebabnya. Berdasarkan survey yang dilansir Pravda, rata-rata pria akan kesal jika melihat temanwanitanya mengomentari penampilan wanita lain. Apa lagi perilaku yang bisa ‘menurunkan’ nilai wanita di mata pria? Ini jawabannya, seperti dilansir Times of India & iVillage.
1. Terlalu Pintar
Setiap orang menyukai wanita yang pintar dan dapat menyuarakan pendapatnya tentang segala hal. Namun wanita dengan kepercayaan diri terlalu besar dan terlalu kuat dalam berpendapat dapat membuat pria ‘mundur’. Mereka akan merasa ego dan harga dirinya dijatuhkan.
2. Matrealistis
Banyak pria yang royal kepada wanitanya, namun terkadang wanita memanfaatkannya dengan terus menguras dompet si pria dengan memintanya untuk membayar belanjaan. Pria akan mengetahui jika dia sedang dimanfaatkan. Tentu dia merasa tidak dicintai jika Anda hanya membutuhkan uangnya saja.
 
3. Suka Mengritik
Pria tidak suka mendengar wanita mengomentari kejelekan wanita lain. Pria akan hilang ketertarikannya jika mendapati wanita yang membandingkan pakaian, sepatu dan tas mereka dengan wanita lain. Asal tahu saja, pria biasanya kurang memerhatikan apakah seorang wanita punya selera berbusana yang baik, atau memakai merek tertentu.
4. Tukang Mengeluh
Jika setiap hari yang kita bicarakan hanya keluhan dan menggosipkan kejelekan orang, jangan salahkan siapa-siapa jika Anda tak bisa menemukan pria yang tepat. Banyak pria tidak mengerti kenapa para wanita suka bergosip dan mengeluh.
5. ‘Pengawas’ Berat Badan
Anda suka mengeluhkan berat badan di depan pria? Siap-siaplah mendapat komplain dari mereka. Jika Anda tiba-tiba panik hanya karena satu kali makan es krim untuk dessert, pria tidak bisa memahaminya. Kalaupun Anda merasa khawatir dengan bentuk tubuh, cukup bicarakan kepada teman atau keluarga.
6. Si Gila Kerja
Setiap bertemu, yang Anda bicarakan hanyalah deadline tugas dari bos, presentasi yang njelimet, teman kerja yang menyebalkan atau office boy yang salah membeli pesanan makanan. Boleh saja membicarakan masalah pekerjaan, tapi jika sepanjang pertemuan selalu tentang Anda dan rumitnya tugas kantor pria pun akan bosan.
7. Terlalu Tergantung
Menjalin hubungan bukan berarti bersama-sama sepanjang waktu. Hal tersebut menunjukkan bahwa Anda adalah seseorang yang terlalu tergantung dengan orang lain. Ketergantungan ini bisa menghilangkan rasa ketertarikannya terhadap Anda.
 
Sumber. echa nandha utama

6 Mei 2012

KISAH SUNAN MURIA

KISAH SUNAN MURIA

RADEN Umar Said sedang asyik berceramah di
padepokannya di Desa Colo, Kecamatan Dawe,
Kudus, ketika seorang pemuda datang berkunjung.
Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden
Bambang Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra
Raden Umar. Raden Umar terkejut mendengarnya. Ia
segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang.
Tetapi, Kebo Anabrang tetap bersikeras, tak mau
meninggalkan padepokan sebelum Raden Umar
mengaku sebagai ayahnya. Karena terus didesak,
Raden Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan satu
syarat: Kebo Anabrang harus memindahkan salah
satu pintu gerbang Kerajaan Majapahit di Trowulan,
Mojokerto, ke padepokannya dalam semalam.
Padahal, jaraknya mencapai sekitar 350 kilometer.
Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu gerbang itu
enteng saja dipikulnya. Tetapi, dalam perjalanan,
Kebo Anabrang dihadang Raden Ronggo dari
Kadipaten Pasatenan Pati. Raden Ronggo juga
memerlukan gerbang itu untuk mempersunting Roro
Pujiwati, putri Kiai Ageng Ngerang. Siapa saja yang
sanggup membawa gerbang Majapahit itu ke Juana
berhak melamar Roro Pujiwati.
Terjadilah pertarungan sengit. Masing-masing
mengeluarkan kesaktiannya. Raden Umar terpaksa
turun langsung melerai pertengkaran itu. ''Siapa
yang sanggup mengangkat pintu gerbang, dialah
yang berhak,'' kata Raden Umar. Ternyata, hanya
Kebo Anabrang yang sanggup mengangkatnya. Ia
pun melanjutkan perjalanan.
Tapi, apa lacur. Begitu melangkahkan kaki,
terdengar kokok ayam bersahutan, pertanda pagi
menjelang. Padahal, ia baru mencapai Dusun
Rondole, Desa Muktiharjo, yang bejarak lima
kilometer dari kota Pati. Konon, sampai kini pintu
gerbang itu masih berdiri dan dikeramatkan
penduduk setempat.

KISAH SUNAN KUDUS

KISAH SUNAN KUDUS

MESKI namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli
Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang
mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25
kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah.
Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja'far
Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan
Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji)
dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa
jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima
perang yang tangguh.
Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam
peperangan antara Demak dan Majapahit. Setelah
itu, Ja'far Shodiq menggantikan posisi ayahnya.
Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah
Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan
Demak. Kenyataannya, Ja'far Shodiq terbukti hebat
di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian
ayahnya.
Ja'far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah
Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan
ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian
memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja'far
Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja'far Shodiq
diberi badong --semacam rompi-- oleh Sunan
Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena
perang.
Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan
tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus
itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-
jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang
langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa
mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit
Majapahit yang tewas disengat tawon.
Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati
Terung, menyerah kepada pasukan Ja'far Shodiq.
Usai perang, Ja'far Shodiq menikahi putri Adipati
Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak.
Selama hidupnya, Ja'far Shodiq sendiri juga punya
istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang
menghasilkan satu anak.
Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi
Ja'far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas
lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat,
yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak.
Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang
disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah
Pengging --wilayah Boyolali-- dan sekitarnya.
Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri
bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan
pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang
mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan
Tingkir digambarkan sebagai saudara seperjuangan,
yang saling menyayangi bagaikan saudara kandung.
Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin
kentara ketika ia menolak menghadap Raja Demak,
Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat
Raden Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh
Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah memutuskan
untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga
itu.
Raden Patah memerintahkan Ja'far Shodiq
''meredam'' Kebo Kenanga. Dalam sebuah
pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun,
kehebatan Ja'far Shodiq sebagai panglima perang
lama-kelamaan surut. Bahkan, menjelang
kepindahannya ke Kudus, Ja'far Shodiq tidak lagi
menjadi panglima perang, melainkan menjadi
penghulu masjid di Demak.
Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja'far
Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja'far Shodiq
berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan
lain, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Sunan
Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja'far
Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata.
Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui
Sunan Kalijaga sebagai guru baru.
Bagi Ja'far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka
karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika
Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja'far
Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya
Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung
Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak tega,
maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang
bernama Rangkud.
Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya,
setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata
bersandar ke badan istrinya, karena keduanya
tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa
diduga, sebelum mengembuskan napas
penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai
Bethok ke tubuh Rangkud.
Versi lain menyebutkan, Ja'far Shodiq meninggalkan
Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup
merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk
kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan
persisnya Ja'far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf
dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam
Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan
beberapa catatan tentang aktivitas Ja'far Shodiq di
sana.
Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja'far Shodiq
menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih
bernama Tajug. Menurut penuturan warga
setempat, yang mula-mula mengembangkan kota
Tajug adalah Kiai Telingsing. Ada yang menyebut,
Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada
The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.
Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah
berkembang sebelum kedatangan Ja'far Shodiq.
Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja'far
Shodiq merupakan penghulu Demak yang
menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja'far Shodiq
mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam
kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah
Ja'far Shodiq itu merupakan para santri yang
dibawanya dari Demak.
Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-
sama Ja'far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain
menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan
warga setempat yang dipekerjakan Ja'far Shodiq
untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan
bahwa Ja'far Shodiq mula-mula hidup dari
penghasilan menggarap lahan pertanian.
Setelah jamaahnya makin banyak, Ja'far Shodiq
kemudian membangun masjid sebagai tempat
ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat
ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shodiq
adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih
berdiri. Nama Ja'far Shodiq tercatat dalam inskripsi
masjid tersebut.
Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada
956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam
inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang
artinya, ''... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di
negeri Quds...'' Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq
menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa, setara
dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.
Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds,
yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada
akhirnya, Ja'far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan
sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan
agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan
Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri
handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan
perlawanan frontal, melainkan mengarahkan
masyarakat sedikit demi sedikit.
Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi
penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun berusaha
memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat
Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru
menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari
raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari
penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut
Hindu.
Cara yang simpatik itu membuat para penganut
agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama
Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang
dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan
Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar.
Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak
meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk
menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid
Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan
sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh karena di
halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara
kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama
Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup
dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa
dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil
menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga
mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah arab
konon berjangkit suatu wabah penyakit yang
membahayakan, penyakit itu menjadi reda berkat
jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir
disana berkenan untuk memberikan suatu hadiah
kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya
kenang-kenangan sebuah batu yang beliau minta.
Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul
Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan
kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta
bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus.
Bahkan menara yang terdapat di depan masjid
itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan
Menara Kudus. Mengenai nama Kudus atau Al
Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara
lain disebutkan : "Al kuds the usual arabic nama for
Jeruzalem in later times, the olders writers call it
commonly bait al makdis ( according to some :
mukaddas ), with really meant the temple (of
solomon), a translation of the hebrew
bethamikdath, but it because applied to the whole
town."
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah
adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan
menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk
mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus
menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah
berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan
kapan persisnya hari pertama puasa.
Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung,
tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan,
banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi,
mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman
awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah
yang dijajakan para pedagang musiman.
Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat
Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara
Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik
tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya
yaitu Sunan Kudus.
Legenda Kota Kudus
Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat
setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang
terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya,
Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti,
yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan
otak dan tenaga manusia biasa.
Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan
masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa pada
zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta
bermukim disana. Kemudian beliau menderita
penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga oleh
kawan - kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah
kenapa timbullah malapetaka yang menimpa negeri
Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit. Segala
daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya
tersebut, namun kiranya usaha itu sia - sia belaka.
Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk
memberikan jasa - jasa baiknya. Bahaya itupun
karena kesaktian beliau menjadi reda kembali. Atas
jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan
memberi hadiah kepada beliau sebagai pembalasan
jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian
hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya
meminta sebuah batu sebagai kenang - kenangan
yang akan dipakai sebagai peringatan bagi
pendirian masjid di Kudus.
Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon
kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di
Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama
kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa jauh
sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan
di Kudus, telah ada seorang tokoh terkemuka
disana ialah Kyai Telingsing. karena beliau sudah
lanjut usia maka ia ingin mencari penggantinya.
Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil
menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang
dicarinya (bhs. Jawa : ingak - inguk), tiba - tiba
Sunan Kudus pun muncul dari arah selatan, dan
masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang
amat singkat, malahan ada yang mengatakan
bahwa masjid itu tiba - tiba muncul denga
sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban), berhubungan
dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama :
Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid
Nganguk Wali.
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan,
bahwa baik Menara Kudus maupun lawang
kembar, masing - masing di bawa oleh beliau
dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab,
sedangkan lawang kembar, katanya di pindahkan
beliau dari Majapahit.
Legenda daerah Jember
Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki
Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan Kudus.
tamu tersebut mengendarai sebuah tampah.
sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak lah
langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan
memamerkan kesaktianya dengan mengendarai
tampah serta berputar - putar diangkasa. Seketika
dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka
sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini
menyombongkan kesaktianya. Sesudah di sabda
oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah
yang ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke
bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs.
Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut
kemudian dinamakan Jember
Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa
pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan lele,
kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya,
dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah
sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala
itupun hidup kembali.
Di dalam "Babad Tanah Jawi" serta kepustakaan
Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil Sunan
Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah
memimpin tentara Demak melawan Majapahit.
Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan Kudus
lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo
Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang
di pandang sangat membahayakan masyarakat yang
baru saja memeluk agama Islam.

KISAH SUNAN KALI JOGO/JAGA

KISAH SUNAN KALI JOGO

1. ASAL USUL.
Sudah banyak orang tahu bahwa Sunan Kalijaga itu
aslinya bernama Raden Said.
Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta.
Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden
Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe
yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri
sudah masuk agama Islam.
Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada
agama Islam oleh guru agama Kadipaten
Tuban.Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau
lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan
rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak.
Gelora jiwa muda Raden said seakan meledak-
ledak manakala melihat praktek oknum pejabat
Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada
penduduk atau rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita
dikarenakan adanya musim kemarau panjang,
semakin sengsara, mereka harus membayar pajak
yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan
yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka.
Seringkali jatah mereka untuk persediaan
menghadapi musim panen berikutnya sudah disita
para penarik pajak. Raden Said yang mengetahui hal
itu pernah mengajukan pertanyaan yang mengganjal
di hatinya. Suatu hari dia menghadap ayahandanya.
"Rama Adipati, rakyat tahun ini sudah semakin
sengsara karena panen banyak yang gagal," kata
Raden Said. "Mengapa pundak mereka masih harus
dibebani dengan pajak yang mencekik leher
mereka. Apakah hati nurani Rama tidak merasa
kasihan atas penderitaan mereka ?"
Adipati Wilatikta menatap tajam kea rah putranya.
Sesaat kemudian dia menghela nafas panjang dan
kemudian mengeluarkan suara, "Said anakku..... saat
ini pemerintah pusat Majapahit sedang
membutuhkan dana yang sangat besar untuk
melangsungkan roda pemerintahan. Aku ini
hanyalah seorang bawahan sang Prabu, apa dayaku
menolak tugas yang dibebankan kepadaku. Bukan
hanya Kadipaten Tuban yang diwajibkan membayar
upeti lebih banyak dari tahun-tahun yang lalu.
Kadipaten lainnya juga mendapat tugas serupa."
"Tapi...... mengapa harus rakyat yang jadi korban."
Sahut Raden Said. Tapi Raden Said tak meneruskan
ucapannya. Dilihatnya saat itu wajah ayahnya
berubah menjadi merah padam pertanda hatinya
sedang tersinggung atau naik pitam. Baru kali ini
Raden Said membuat ayahnya marah. Hal yang
selama hiduptak pernah dilakukannya.
Raden Said tahu diri. Sambil bersungut-sungut dia
merunduk dan mengundurkan diri dari hadapan
ayahnya yang sedang marah.
Ya, Raden Said tak perlu melanjutkan pertanyaan.
Sebab dia sudah dapat menjawabnya sendiri.
Majapahit sedang membutuhkan dana besar karena
negeri itu sering menghadapi kekacauan, baik
memadamkan pemberontakan maupun terjadinya
perang saudara.
Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia
lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak
terikat oleh adapt istiadat kebangsawanan. Dia
gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan
segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah
hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya
yang supel itulah dia banyak mengetahui selukbeluk
kehidupan rakyat Tuban. Niat untuk mengurangi
penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada
ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat
banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi
ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi
niat itu tak pernah padam.
Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di
dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-
ayat suci Al-Qur'an, maka sekarang dia keluar
rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap,
Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang
ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit.
Bahan makan itu dibagi-bagikan kepada rakyat
yang sangat membutuhkannya.
Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi
kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak
diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa
gerangan yang memberikan rezeki itu, sebabnya
Raden Said melakukannya di malam hari secara
sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang
seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang
Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit,
soalnya makin hari barangbarang yang hendak
disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu makin
berkurang.
Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil
bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja
sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah
rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.
Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu
gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu
memperhatikan, pencuri itu.Dia hampir tak percaya,
pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungannya
sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati
Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat
fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua
orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki
pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang
tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam
itu perbuatannya bakal ketahuan.
Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil
membawa bahan-bahan makanan, tiga orang
prajurid Kadipaten menangkapnya beserta barang
bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa
kehadapan ayahnya.
"Sungguh memalukan sekali perbuatanmu itu !"
hardik Adipati Wilatikta. "Kurang apakah aku ini,
benarkah aku tak menjamin kehidupanmu di istana
Kadipaten ini ?
Apakah aku pernah melarangnya untuk makan
sekenyang-kenyangnya di Istana ini ?
Atau aku tidak pernah memberimu pakaian ?
Mengapa kau lakukan perbuatan tecela itu ?"
Raden Said tidak mengeluarkan suara. Biarlah, bisik
hatinya. Biarlah orang tak pernah tahu untuk apa
barang-barang yang tersimpan di gudang
Kadipaten itu kuambil. Biarlah ayahku tak pernah
tahu kepada siapa barang-barang itu kuberikan.
Adipati Wilatikta semakin marah melihat sikap
anaknya itu. Raden Said tidak menjawabnya untuk
apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang
hendak disetorkan ke Majapahit itu.
Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman,
karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali
dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman
cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian
disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar
rumah.
Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah
diterimanya ? Sesudah keluar dari hukuman dia
benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak
pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan
adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said
selanjutnya ?
Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba
hitam dan kemudian merampok harta orang-orang
kaya di kabupaten Tuban. Terutama orang kaya
yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang.
Harta hasil rampokan itupun diberikannya kepada
fakir miskin dan orang-orang yang menderita
lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik
jenuh ada saja orang yang bermaksud
mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati yang
mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat
kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan
pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan
juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said
juga.
Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja
menyelesaikan shalat IsyĆ” mendengar jerit tangis
para penduduk desa yang kampungnya sedang
dijarah perampok.
Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu
mengetahui kedatangan Raden Said, kawanan
perampok itu segera berhamburan melarikan diri.
Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik
memperkosa seorang gadis cantik. Raden Said
mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang
diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat
seseorang berpakaian seperti dirinya, juga
mengenakan topeng serupa sedang berusaha
mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia
sudah selesai memperkosa gadis itu.
Raden Said berusaha menangkap perampok itu.
Namun pemimpin rampok itu berhasil melarikan
diri. Mendadak terdengar suara kentongan di pukul
bertalu-talu, penduduk dari kampung lain
berdatangan ke tempat itu.Pada saat itulah si gadis
yang baru diperkosa perampok tadi
menghamburkan diri dan menangkap erat-erat
tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan
kebingungan.Para pemuda dari kampung lain
menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden
Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran mencoba
membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu
mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang
kepala desa jadi terbungkam. Sama sekali tak
disangkanya bahwa perampok itu adalah putra
junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah
masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap
perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa
adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu.
Sang kepala desa masih berusaha menutup aib
junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said
ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang
banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka.
Sang Adipati yang selama ini selalu merasa sayang
dan selalu membela anaknya kali ini juga naik
pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten
Tuban.
"Pergi dari Kadipaten Tuban ini !" kau telah
mencoreng nama baik keluargamu sendiri ! pergi !
jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan
dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan
ayat-ayat Al-Qur'an yang sering kau baca di malam
hari !"
Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas
kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat
menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban
ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu.
Sirna sudah segala harapan sang adipati. Hanya ada
satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan
Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden said.
Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak
mungkin melakukan perbuatan keji. Hati siapa yang
takkan hancur mengalami peristiwa seperti ini.
Raden Said bermaksud menolong fakir miskin dan
penduduk yang menderita tapi akibatnya justru dia
sendiri yang harus menelan derita. Diusir dari
Kadipaten Tub an.
Orang tua mana yang tak terpukul batinnya
mengetahui anak dambaan hati tiba-tiba berbuat
jahat dan menghancurkan nama dan masa
depannya sendiri. Tapi itulah peristiwa yang
memang harus dialami oleh Raden Said. Seandainya
tidak ada fitnah seperti itu, barangkali Raden Said
tidak bakal menjadi seorang ulama besar, seorang
Wali yang dikagumi oleh seluruh penduduk Tanah
Jawa. Raden Said betul-betul meninggalkan
Kadipaten Tuban.
Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya
itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan
ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban
untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.
Tentu saja sang ayah dan ibu kelabakan mengetahui
hal ini. Segera saja diperintahkan puluhan prajurit
Tuban untuk mencari Dewi Rasawulan tak pernah
ditemukan oleh mereka.
Di dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan bahwa
Dewi Rasawulan pada akhirnya telah ditemukan
oleh Empu Supa, seorang Tumenggung Majapahit
yang menjadi murid Sunan Kalijaga. Dewi Rasawulan
kemudian dijodohkan dengan Empu Supa. Dan
kembali ke Tuban bersama-sama dengan diantar
Sunan Kalijaga yang tak lain adalah Raden Said
sendiri.
2. MASA PENGGEMBLENGAN DIRI.
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari
Kadipaten Tuban ? Ternyata ia mengembara tanpa
tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan
Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi
perampok budiman. Mengapa disebut perampok
budiman ?
Karena hasil rampokannya itu tak pernah
dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada
fakir miskin. Yang dirampoknya hanya para
hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak
menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar
zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama
aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal
Lokajaya.
Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat
di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah
mengincarnya. Orang itu membawa sebatang
tongkat yang gagangnya berkilauan.
"Pasti gagang tongkat itu terbuat dari emas," bisik
Brandal Lokajaya dalam hati.
Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu.
Setelah dekat dia hadang langkahnya sembari
berkata, "Orang tua, apa kau pakai tongkat ?
Tampaknya kau tidak buta, sepasang matamu
masih awas dan kau juga masih kelihatan tegar,
kuat berjalan tanpa tongkat !"
Lelaki berjubah putih itu tersenyum, wajahnya
ramah, dengan suara lembut dia berkata, "Anak
muda.......... Perjalanan hidup manusia itu tidak
menentu, kadang berada di tempat terang, kadang
berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku
tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan."
"Tapi.......... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat
saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan
ini." Sahut Raden Said. Kembali lelaki berjubah putih
itu tersenyum arif, "anak muda.......... Perjalanan
hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di
tempat terang, kadang berada di tempat gelap,
dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila
berjalan dalam kegelapan."
"Tetapi.......... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat
saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan
ini." Sahut Radeb Said. Kembali lelaki berjubah putih
itu tersenyum arif, "Anak muda tongkat adalah
pegangan, orang hidup haruslah mempunyai
pegangan supaya tidak tersesat dalam menempuh
perjalanan hidupnya."
Agaknya jawab-jawab yang mengandung filosofi itu
tak menggugah hati Raden Said. Dia mendengar dan
mengakui kebenarannya tapi perhatiannya terlanjur
tertumpah kepada gagang tongkat lelaki berjubah
putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya
tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena
tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang
berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang
matanya mengeluarkan air walau tak ada suara
tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu
sedang mengamat-amati gagang tongkat yang
dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat
dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari
kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya
matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat
orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali
tongkat itu, "Jangan menangis, ini tongkatmu
kukembalikan."
"Bukan tongkat ini yang kutangisi," Ujar lelaki itu
sembari memperlihatkan beberapa batang rumput
di telapak tangannya. "Lihatlah ! Aku telah berbuat
dosa, berbuat kesiasiaan. Rumput ini tercabut ketika
aku aku jatuh tersungkur tadi."
"Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa
berdosa ?" Tanya Raden Said heran.
"Ya, memang berdosa ! Karena kau mencabutnya
tanpa suatu keperluan. Andaikata guna makanan
ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-
siaan benar-benar suatu dosa !" Jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang
mengandung nilai iman itu.
"Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di
hutan ini ?"
"Saya mengintai harta ?"
"Untuk apa ?"
"Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk
yang menderita."
"Hemm, sungguh mulia hatimu, sayang...... caramu
mendapatkannya yang keliru."
"Orang tua.......... apa maksudmu ?"
"Boleh aku bertanya anak muda ?"
"Silahkan.......... "
"Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air
kencing, apakah tindakanmu itu benar ?"
"Sungguh perbuatan bodoh," sahut Raden Said.
"Hanya manambah kotor dan bau pakaian itu saja."
Lelaki itu tersenyum, "Demikian pula amal yang kau
lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang di
dapat secara haram, merampok atau mencuri, itu
sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing."
Raden Said tercekat.
Lelaki itu melanjutkan ucapannya, "Allah itu adalah
zat yang baik, hanya menerima amal dari barang
yang baik atau halal."Raden Said makin tercengang
mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai
menghujam tubuh hatinya. Betapa keliru
perbuatannya selama ini. Di pandangnya sekali lagi
wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan
berwibawa namun mencerminkan pribadi yang
welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki
berjubah putih itu.
"Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas
kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini.
Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi
para penduduk miskin bantuan makan dan uang.
Kau harus memperingatkan para penguasa yang
zalim agar mau merubah caranya memerintah yang
sewenang-wenang, kau juga harus dapat
membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf
kehidupannya !"
Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah
yang didambakannya selama ini.
"Kalau kau tak mau kerja keras, dan hanya ingin
beramal dengan cara yang mudah maka ambillah
itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu !"
Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang
pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi
emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said
terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti,
banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya.
Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya.
Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir,
kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia
pasti dapat mengatasinya.
Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren
itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang itu
tidak mempergunakan sihir
Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia
mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar
berubah menjadi emas seluruhnya.Ia ingin
mengambil buah aren yang telah berubah menjadi
emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu
rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said.
Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan
pingsan.
Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah
berubah lagi menjadi hijau seperti arenaren lainnya.
Raden Said bangkit berdiri, mencari orang berjubah
putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di
tempat.
"Pasti dia seorang sakti yang berilmu tinggi. Menilik
caranya berpakaian tentulah dari golongan para
ulama atau mungkin salah seorang dari Waliullah,
aku harus menyusulnya, aku akan berguru
kepadanya," demikian pikir Raden Said.
Raden Said mengejar orang itu. Segenap
kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat,
akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari
kejauhan. Seperti santai saja orang itu
melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah
bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan
berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras
habis dia baru sampai di belakang lelaki berjubah
putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena
kehadiran Raden Said melainkan di depannya
terbentang sungai yang cukup lebar.Tak ada
jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam, dengan
apa dia harus menyeberang.
"Tunggu.......... " ucap Raden Said ketika melihat
orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
"Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid...... "
Pintanya.
"Menjadi muridku ?" Tanya orang itu sembari
menoleh. "Mau belajar apa ?"
"Apa saja, asal Tuan menerima saya sebagai
murid......"
"Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau
menerima syarat-syaratnya ?"
"Saya bersedia...... "
Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi
sungai. Raden Said diperintahkan menungguinya.
Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki
itu kembali menemuinya.
Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai.
Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki
itu berjalan di atas air bagaikan berjalan didaratan
saja. Kakinya tidak basah terkena air.
Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said,
pemuda itu duduk bersila, dia berdo'a kepada
Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di
goa Kahfi ratusan tahun silam. Do'anya dikabulkan.
Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga
tahun. Akar dan rerumputan telah membalut dan
hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang
menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa
dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan
adzan, pemuda itu membuka sepasang matanya.
Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru
yang bersih. Kemudian dibawa ke Tuban.Mengapa
ke Tuban ? Karena lelaki berjubah putih itu adalah
Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi
pelajaran agama sesuai dengan tingkatnya, yaitu
tingkat para Waliullah. Di kemudian hari Raden Said
terkenal sebagai Sunan Kalijaga. Kalijaga artinya
orang yang menjaga sungai.
Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah
penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa
itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan
ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam
yang benar. Ada juga yang mengartikan legenda
pertemuan Raden Said deng an Sunan Bonang
hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan
Bonang pergi selalu membawa tongkat atau
pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu
membawa agama, membawa iman sebagai
penunjuk jalan kehidupan.
Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat
atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said
diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat
Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan
dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu
dan Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai
tanpa ambles ke dalam sungai.
Bahkan sedikitpun ia tidak terkena percikan air
sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul
dengan dengan masyarakat yang berbeda agama
tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh
Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.
Raden Said sewaktu bertapa ditepi tubuhnya tidak
sampai hanyut ke aliran sungai, hanya daun, akar
dan rerumputan yang menutupi sebagian besar
anggota tubuhnya. Itu artinya Raden Said bergaul
dengan masyarakat Jawa, adat istiadat masyarakat
di pakai sebagai alat dakwah, dan diarahkan
kepada ajaran Islam yang bersih, namun usaha itu
tampaknya sedikit mengotori tubuh Raden Said dan
setelah tiga tahun Sunan Bonang membersihkannya
dengan ajaran-ajaran Islam tingkat tinggi sehingga
Raden Said masuk kegolongan para Wali. Dan
pengetahuan agamanya benar-benar telah cukup
untuk dipergunakan menyebarkan agama Islam.
Demikian sehingga tafsiran dari kisah legenda
pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang.
3. KERINDUAN SEORANG IBU.
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua
anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti
kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha
Adipati Tuban menangkap para perampok yang
mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati
ibu Raden Said seketika berguncang. Kebetulan saat
ditangkap oleh para prajurit Tuban, perampok itu
mengenakan pakaian dan topeng yang dikenakan
Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat
terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu
tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak
bersalah.
Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-
benar telah menyesal mengusir anak yang sangat
disayanginya itu. Sang ibu tak pernah tahu bahwa
anak yang didambakannya itu bertahun-tahun
kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja tidak
langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan
ketempat tinggal Sunan Bonang. Untuk mengobati
kerinduan sang ibu. Tidak jarang Raden Said
mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca
Qur'an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke
istana Tuban.
Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar
menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten.
Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan
istrinya. Tapi Raden Said, masih belum
menampakkan diri. Banyak tugas yang masih
dikerjakannya. Di antaranya menemukan adiknya
kembali. Pada akhirnya, dia kembali bersama
adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan
betapa bahagianya Adipati Tuban dan istrinya
menerima kedatangan putra-putri yang sangat
dicintainya itu.
Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan
Adipati Tuban. Dia lebih suka menjalani kehidupan
yang dipilihnya sendiri. Walau sedikit kecewa
Adipati Tuban agak terhibur, sebab suami Dewi
Rasawulan juga bukan orang sembarangan. Empu
Supa adalah seorang Tumenggung Majapahit yang
terkenal. Cucu yang lahir dari keturunan Empu.
Akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan
kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan
dan Empu Supa.
Raden Said meneruskan pengembaraannya.
Berdakwah atau menyebarkan agama Islam di Jawa
tengah hingga ke Jawa Barat. Dalam usia lanjut
beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggal nya
yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan
di Kadilangu, Demak.
4. JASA SUNAN KALIJAGA.
Jasa Sunan Kalijaga sangat sukar dihitung karena
banyaknya. Beliau dikenal sebagai Mubaligh, ahli
seni, budayawan, ahli filsafat, sebagai Dalang
Wayang Kulit dan sebagainya. Untul lebih detailnya
para pembaca dipersilahkan membaca literatur
berjudul Sunan Kalijaga yang ditulis oleh saudara
Umar Hayim, diterbitkan oleh Menara Kudus.
Di dalam buku tersebut diuraikan dengan lengkap
jasa dan karya Sunan Kalijaga.
Di dalam buku ini kami nukilkan sebagian kecil dari
karya dan jasa Sunan Kalijaga.
A. SEBAGAI MUBALIGH.
Beliau dikenal sebagai ulama besar, seorang Wali
yang memiliki karisma tersendiri diantara Wali-Wali
lainnya. Dan paling terkenal di kalangan atas
maupun dari kalangan bawah. Hal itu disebabkan
Sunan Kalijaga suka berkeliling dalam berdakwah,
sehingga beliau juga dikenal sebagai Syekh Malaya
yaitu mubaligh yang menyiarkan agama Islam
sambil mengembara. Sementara Wali lainnya
mendirikan pesantren atau pedepokan untuk
mengajar murid-muridnya.
Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat Jawa
yang pada waktu itu masih banyak menganut
kepercayaan lama tidak ditentang adat istiadatnya.
Beliau dekati rakyat yang masih awam itu dengan
cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak
memakai jubah sehingga rakyat tidak merasa
angker dan mau menerima kedatangannya dengan
senang hati.
Pakaian yang dikenakan sehari-hari adalah pakaian
adat Jawa yang di disain dan disempurnakan sendiri
secara Islami. Adat istiadat rakyat, yang dalam
pandangan Kaum Putihan dianggap bid'ah tidal
langsung ditentang olehnya selaku Pemimpin Kaum
Abangan. Pendiriannya adalah rakyat dibuat senang
dulu, direbut simpatinya sehingga mau menerima
agama Islam, mau mendekat pada para Wali.
Sesudah itu barulah mereka diberi pengertian Islam
yang sesungguhnya dan dianjurkan membuang adat
yang bertentangan dengan agama Islam.
Kesenian rakyat baik yang berupa gamelan, gencing
dan tembang-tembang dan wayang dimanfaatkan
sebesar-besarnya sebagai alat dakwah. Dan ini
ternyata membawa keberhasilan yang gemilang,
hampir seluruh rakyat Jawa pada waktu itu dapat
menerima ajakan Sunan Kalijaga untuk mengenal
agama Islam.
B. SUNAN KALIJAGA SEBAGAI AHLI BUDAYA.
Gelar tersebut tidak berlebihan karena beliaulah
yang pertama kali menciptakan seni pakaian, seni
suara, seni ukir, seni gamelan, wayang kulit, bedug
di mesjid, Gerebeg Maulud, seni Tata Kota dan lain-
lain.
a. Seni Pakaian :
Beliau yang pertama kali menciptakan baju taqwa.
Baju taqwa ini pada akhirnya disempurnaka oleh
Sultan Agung dengan dester nyamping dan keris
serta rangkaian lainnya. Baju ini masih banyak di
pakai oleh masyarakat Jawa, setidaknya pada
upacara pengantin.
b. Seni Suara :
Sunan Kalijagalah yang pertama kali menciptakan
tembang Dandang Gula dan Dandang Gula
Semarangan.
c. Seni Ukir :
Beliau pencipta seni ukir bermotif dedaunan, bentuk
gayor atau alat menggantungkan gamelan dan
bentuk ornamentik lainnya yang sekarang dianggap
seni ukir Nasional.
Sebelum era Sunan Kalijaga kebanyakan seni ukir
bermotifkan manusia dan binatang.
d. Bedug atau Jidor di Mesjid :
Beliaulah yang pertama kali mempunyai ide
menciptakan Bedug di masjid, yaitu memerintahkan
muridnya yang bernama Sunan Bajat untuk
membuat Bedug di masjid Semarang guna
memanggil orang untuk pergi mengerjakan shalat
jama'ah.
e. Gerebeg Maulud :
Ini adalah acara ritual yang diprakarsai Sunan
Kalijaga, asalnya adalah tabliqh atau mengajian
akbar yang diselenggarakan para wali di Masjid
Demak untuk memperingati Maulud Nabi.
f. Gong Sekaten :
Adalah gong ciptaan Sunan Kalijaga yang nama
aslinya adalah Gong Syahadatain yaitu dua kalimah
Syahadat. Bila gong itu dipukul akan berbunyi
bermakna :di sana di situ, mumpung masih hidup,
berkumpullah untuk masuk agama Islam.
g. Pencipta Wayang Kulit :
Pada jaman sebelum Sunan Kalijaga, wayang
bentuknya adalah sebagai berikut;
Adegan demi adegan wayang tersebut digambar
pada sebuah kertas dengan gambar ujud
manusia.Dan ini diharamkan oleh Sunan Giri. Karena
diharamkan oleh Sunan Giri, Suna Kalijaga membuat
kreasi baru, bentuk wayang dirubah sedemikian
rupa, dan digambar atau di ukir pada sebuah kulit
kambing, satu lukisan adalah satu wayang, sedang
di jaman sebelumnya satu lukisan adalah satu
adegan. Gambar yang ditampilkan oleh Sunan
Kalijaga tidak bisa disebut gambar manusia, mirip
karikatur bercita rasa tinggi. Diseluruh dunia hanya
di Jawa inilah ada bentuk wayang seperti yang kita
lihat sekarang.Itulah ciptaan Sunan Kalijaga.
h. Sebagai Dalang :
Bukan hanya pencipta wayang saja, Sunan Kalijaga
juga pandai mendalang. Sesudah peresmian Masjid
Demak dengan shalat Jum'ah, beliaulah yang
mendalang bagi pagelaran wayang kulit yang
diperuntukkan menghibur dan berdakwah kepada
rakyat.
Lakon yang dibawakan seringkali ciptaannya sendiri,
seperti ; Jimat Kalimasada, Dewi Ruci, Petruk Jadi
Raja, Wahyu Widayat dan lain-lain.
Dalang dari kata "dalla" artinya menunjukkan jalan
yang benar.
i. Ahli Tata Kota :
Baik di Jawa maupun Madura seni bangunan Tata
Kota yang dimiliki biasanya selalu sama.Sebab Jawa
dan Madura mayoritas penduduknya adalah Islam.
Para penguasanya kebanyakan meniru cara Sunan
Kalijaga dalam membangun Tata Kota.
Tehnik bangunan Kabupaten atau Kota Praja
biasanya terdiridari :
1. Istana atau Kabupaten
2. Alun-alun
3. Satu atau dua pohon beringin
4. Masjid
Letaknya juga sangat teratur, bukan
sembarangan.Alun-alun ;berasal dari kata "Allaun"
artinya banyak macam atau warna. Diucapkan dua
kali "Allaun-allaun" yang maksudnya menunjukkan
tempat bersama ratanya segenap rakyat dan
penguasa di pusatkota.
Waringin : dari kata "Waraa'in artinya orang yang
sangat berhati-hati. Orang-orang yang berkumpul
di alun-alun itu sangat hati-hati memelihara dirinya
dan menjaga segala hukum atau undang-undang,
baik undang-undang negara atau undang-undang
agama yang dilambangkan dengan dua pohon
beringin yaitu Al-Qur'an dan hadits Nabi. Alun-alun
biasanya berbentuk segi empat hal ini dimaksudkan
agar dalam menjalankan ibadah seseorang itu harus
berpedoman lengkap yaitu syariat, hadiqat dan
tariqat dan ma'rifat. Jadi tidak dibenarkan hanya
mempercayai yang hakikat saja tanpa mengamalkan
syariat agama Islam.
Untuk itu disediakan Masjid sebagai pusat kegiatan
ibadah.
Letak istana atau kantor kabupaten : letak istana
atau pendapat kabupaten biasanya berhadapan
dengan alun-alun dan pohon beringin. Letak istana
atau kabupaten itu biasanya menghadap ke laut dan
membelakangi gunung. Ini artinya para penguasa
harus menjauhi kesombongan, sedang menghadap
ke laut artinya penguasa itu hendaknya berhati
pemurah dan pemaaf seperti luasnya laut. Sedang
alun-a lun dan pohon beringin yang berhadapan
dengan istana atau kabupaten artinya penguasa
harus selalu mengawasi jalannya undang-undang
dan rakyatnya.

KISAH SUNAN GUNUNG JATI

KISAH SUNAN GUNUNG JATI

1. ASAL USUL.
Sebelum era Sunan Gunung Jati berdakwah di Jawa
Barat. Ada seorang ulama besar dari Bagdad telah
datang di daerah Cirebon bersama duapuluh dua
orang muridnya. Ulama besar itu bernama Syekh
Kahfi. Ulama inilah yang lebih dahulu menyiarkan
agama Islam di sekitar daerah Cirebon.
Al-Kisah, putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran
bernama Pangeran Walangsungsang dan adiknya
Rara Santang pada suatu malam mendapat mimpi
yangsama.Mimpi itu terulang hingga tiga kali yaitu
bertemu dengan Nabi Muhammad yang
mengajarkan agama Islam.
Wajah Nabi Muhammad yang agung dan caranya
menerangkan Islam demikian mempersona
membuat kedua anak muda itu merasa rindu.Tapi
mimpi itu hanya terjadi tiga kali.
Seperti orang kehausan, kedua anak muda itu
mereguk air lebih banyak lagi, air yang akan
menyejukkan jiwanya itu agama Islam. Kebetulan
mereka telah mendengar adanya Syekh Dzatul Kahfi
atau lebih muda disebut Syekh Datuk Kahfi yang
membuka perguruan Islam di Cirebon. Mereka
mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi
untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, mereka
ingin memperdalam agama Islam seperti ajaran
Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka
ditolak oleh Prabu Siliwangi.
Pangeran Walangsungsang dan adiknya nekad,
keduanya melarikan diri dari istana dan pergi
berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati.
Setelah berguru beberapa lama di Gunung Jati,
Pangeran Walangsungsang diperintahkan oleh
Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan di bagian
selatan Gunung Jati. Pangeran Walangsungsang
adalah seorang pemuda sakti, tugas itu
diselesaikannya hanya dalam beberapa hari. Daerah
itu dijadikan pendukuhan yang makin hari banyak
orang berdatangan menetap dan menjadi pengikut
Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah itu ramai
Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala
Dukuh dengan gelar Cakrabuana. Daerahnya
dinamakan Tegal Alang-alang.
Orang yang menetap di Tegal Alang-alang terdiri
dari berbagai rasa atau keturunan, banyak pula
pedagang asing yang menjadi penduduk tersebut,
sehingga terjadilah pembauran dari berbagai ras
dan pencampuran itu dalam bahasa Sunda disebut
Caruban.Maka Legal Alang-alang disebut Caruban.
Sebagian besar rakyat Caruban mata pencariannya
adalah mencari udang kemudian dibuatnya menjadi
petis yang terkenal.
Dalam bahasa Sunda Petis dari air udang itu, Cai
Rebon. Daerah Carubanpun kemudian lebih dikenal
sebagai Cirebon hingga sekarang ini. Setelah
dianggap memenuhi syarat, Pangeran Cakrabuana
dan Rarasantang di perintah Datuk Kahfi untuk
melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Di Kota
Suci Mekkah, kedua kakak beradik itu tinggal di
rumah seorang ulama besar bernama Syekh
Bayanillah sambil menambah pengetahuan agama.
Sewaktu mengerjakan tawaf mengelilingi Ka'bah
kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang
Raja Mesir bernama Sultan Syarif Abdullah yang
sama-sama menjalani Ibadah haji. Raja Mesir itu
tertarik pada wajah Rarasantang yang mirip
mendiang istrinya.
Sesudah ibadah haji diselesaikan Raja Mesir itu
melamar Rarasantang pada Syekh Bayanillah.
Rarasantang dan Pangeran Cakrabuana tidak
keberatan. Maka dilangsungkanlah pernikahan
dengan cara Mazhab Syafi'i. Nama Rarasantang
kemudian diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari
perkawinan itu lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif
Nurullah.
Pangeran Cakrabuana sempat tinggal di Mesir
selama tiga tahun. Kemudian pulang ke Jawa dan
mendirikan Negeri Caruban Larang. Negeri Caruban
Larang adalah perluasan dari daerah Caruban atau
Cirebon, pola pemerintahannya menggunakan azas
Islami. Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan
putri Pangeran Cakrabuana yaitu Pakungwati.
Dalam waktu singkat Negeri Caruban Larang telah
terkenal ke seluruh Tanah Jawa, terdengar pula
oleh Prabu Siliwangi selaku penguasa daerah Jawa
Barat. Setelah mengetahui negeri baru tersebut
dipimpin putranya sendiri, maka sang Raja tidak
keberatan walau hatinya kurang berkenan. Sang
Prabu akhirnya juga merestui tampuk pemerintahan
putranya, bahkan sang Prabu memberinya gelar Sri
Manggana.
Sementara itu dalam usia muda Syarif Hidayatullah
ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk
menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir,
tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun
itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke
tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan
ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya
yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah
berguru kepada beberapa ulama besar didaratan
Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah
sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah
leluhurnya yaitu Jawa, ia tidak merasa kesulitan
melakukan dakwah.
2. PERJUANGAN SUNAN GUNUNG JATI.
Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah
dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan
Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan
Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar
adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja
Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di
Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan
Gunungjati.
Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai
yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan
Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis.
Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati
adalah makam dekat Sultan Gunungjati yang ada
tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau
Faletehan menurut lidah orang Portugis. Syarif
Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda'im datang di
negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475
sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk
menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut
gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan
keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru
Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda'im itu
dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar
selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah
Muda'im minta agar diijinkan tinggal di
Pasambangan atau Gunungjati.
Syarifah Muda'im dan putranya yaitu Syarif
Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi
membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga
kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal
dengan sebutan Sunan Gunungjati.
Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana
menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan
Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun
1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran
Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri
Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar
Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi.
Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya
Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk
mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang
Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau.
Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia
tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam
di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian
melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk
Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan
banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang
sering singgah ke tempat itu.
Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh
adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah
dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang
bernama Nyi Kawungten.
Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah
di karuniai dua orang putra yaitu Nyi Ratu Winaon
dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan
agama islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau
sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali
lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau
juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari
pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali
lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan
Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan
diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon
tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang
biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan
oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa
yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka
dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang
dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah
menangkap Syarif Hidayatullah yang dianggap
lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan
Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya
dan anak buahnya malah tidak kembali ke
Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi
pengikut Syarif Hidayayullah.
Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan
ke Cirebon maka makin bertambah besarlah
pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah
lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga
dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah
Kasultanan Cirebon.
Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara
Jati, makin bertambah besarlah pengaruh
Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari
negeri asing datang menjalin persahabatan.
Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang
keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar
dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu
Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri
Cina makin erat.
Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke
negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina
yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang
pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam.
Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin
erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina,
hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk
dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong
Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara
Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini
membekali putranya dengan harta benda yang tidak
sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan
putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu
sampai sekarang masih ada dan tersimpan di
tempat yang aman.
Istana dan Masjid Cireb as pengembangan Islam di
seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa
menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon
yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran
sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa
Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan
kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa
yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku
penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang
mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu
Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran
Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka.
Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan
Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur
mendirikan benteng yang kuat di Malaka.
Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang
pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut
berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi
bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau
ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Raden Patah wafat pada tahun 1518,
berkedudukannya digantikan oleh Adipati Unus atau
Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan
muncullah pemberontakan pemberontakan dari
daerah pedalaman, didalam usaha memadamkan
pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor
meninggal dunia, gugur sebagai pejuang sahid.
Pada tahun 1521 Sultan Demak di pegang oleh Raden
Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam
pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah
diangkat sebagai Panglima Perang yang akan
ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa.
Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan
Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat
senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang
dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan
Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa
yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran.
Mengapa Pajajaran membantu Portugis ? Karena
Pajajaran merasa iri dan dendam pada
perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas,
ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu
merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon
maka Raja Pajajaran menyetujuinya.
Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu
tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ? Karena
Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang
melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya
Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman
adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya
bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik
lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia
dapat memberi komando dengan tepat dan setiap
serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil
gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah,
Portugis kembali ke Malaka, sedangkan Pajajaran
cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya
Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari
gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa
pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui
kesulitan karena Fatahillah dibantu putra Sunan
Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking.
Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi
penguasa Banten dengan gelar Pangeran
Hasanuddin.
Fatahillah kemudian diangkat segenap Adipati di
Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa
menjadi Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku
Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk
meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata
di Jawa Barat.
Berturut-turut Fatahillah dapat menaklukkan daerah
TALAGA sebuah negara kecil yang dikuasai raja
Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian
kerajaan Galuh yang hendak meneruskan
kebesaran Pajajaran lama.Raja Galuh ini bernama
Prabu Cakraningrat dengan senopatinya yang
terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat
membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan
senopatinya tewas dalam peperangan itu.
Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih
Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil
ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati
menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu.
Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati
Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus
Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin
tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran
Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua
dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah
yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai
Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang
Sultan.
Sunan Gunung Jati lebih memusatkan diri pada
penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau
Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak
pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad
Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya.
Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada
Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan
Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di
Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap
digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya
bergelar Adipati.Yaitu Adipati Carbon I. Adpati
Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang
diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunung
Jati.
Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria
Kamuning.
Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam
usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran
Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung
Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai
Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang
sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa
diperantarai apapun juga. Demikianlah riwayat
perjuangan Sunan Gunungjati.

KISAH SUNAN GRESIK

KISAH SUNAN GRESIK

Matahari baru saja tenggelam di Desa Tanggulangin,
Gresik, Jawa Timur. Rembulan dan bintang giliran
menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk
desa tampak ceria menyambut cuaca malam itu.
Sebagian mereka berbincang santai di beranda,
duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar
suara gemuruh. Makin lama makin riuh.
Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di
perbatasan desa terlihat gerombolan pasukan
berkuda --berjumlah sekitar 20 orang. Warga
Tanggulangin berebut menyelamatkan diri --
bergegas masuk ke rumahnya masing-masing.
Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk
Penjalin. Ia berperawakan tinggi, kekar, dengan
wajah bercambang bauk.
''Serahkan harta kalian,'' sergah Penjalin, jawara
yang tak asing di kawasan itu. ''Kalau menolak,
akan kubakar desa ini.'' Tak satu pun penduduk
yang sanggup menghadapi. Mereka memilih
menyelamatkan diri, daripada ''ditekuk-tekuk'' oleh
Penjalin. Merasa tak digubris, kawanan itu siap
menghanguskan Tanggulangin.
Obor-obor hendak dilemparkan ke atap rumah-
rumah penduduk. Tetapi, mendadak niat itu terhenti.
Sekelompok manusia lain, berpakaian putih-putih,
tiba-tiba muncul entah dari mana. Rombongan ini
dipimpin Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama
terkenal yang mulai meluaskan pengaruhnya di
wilayah Gresik dan sekitarnya.
Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke depan.
Dengan sopan ia mengingatkan kelakuan tak terpuji
Penjalin. Penjalin tentu tak terima. Apalagi, orang
yang mengingatkannya sama sekali tak dikenal di
rimba persilatan Gresik. Dalam waktu singkat,
terjadilah pertarungan seru. Penduduk Tanggulangin,
yang melihat pertempuran itu, rame-rame keluar,
lalu membantu Ghafur.
Akhirnya, Penjalin dan pasukannya kocar-kacir.
Tapi, Penjalin tak mau menuruti perintah Ghafur
agar membubarkan anak buahnya. Ghafur tak
punya pilihan lain, ia harus membunuh Penjalin.
Baru saja tiba pada keputusan itu, tiba-tiba
wajahnya diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali.
Aneh, di puncak kemarahan itu, ia malah melangkah
surut.
Penjalin terperangah. ''Mengapa tak jadi membunuh
aku?'' ia bertanya. Ghafur menjawab, ''Karena kamu
telah membuatku marah, dan aku tak boleh
menghukum orang dalam keadaan marah.''
Mendengar ''dakwah'' ini, disusul oleh perbincangan
singkat, Penjalin dan gerombolannya menyatakan
tertarik memeluk agama Islam.
Petikan di atas merupakan satu dari dua kisah
populer tentang perjalanan dakwah Syekh Maulana
Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Sunan
Gresik. Satu cerita lagi yang kerap ditulis pengarang
buku-buku Maulana Malik Ibrahim adalah
pertemuannya dengan sekawanan kafir di tengah
padang pasir.
Ketika itu, mereka hendak menjadikan seorang
gadis sebagai tumbal meminta hujan kepada dewa.
Pedang sudah dihunus. Sunan Gresik mendinginkan
mereka dengan pembicaraan yang lembut,
kemudian memimpin salat Istisqa' --untuk
memohon hujan. Tak lama kemudian langit
mencurahkan butir-butir air, Kawanan kafir itu
memeluk agama Islam.
Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim
disebut-sebut sebagai wali paling senior, alias wali
pertama. Ada sejumlah versi tentang asal usul Syekh
Magribi, sebutan lain Sunan Gresik itu. Ada yang
mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan
Gujarat (India). Sumber lain menyebutkan ia lahir di
Campa (Kamboja).
Setelah cukup dewasa, Maulana Malik Ibrahim
diminta ayahnya, Barebat Zainul Alam, agar
merantau, berdakwah ke negeri selatan. Maka,
bersama 40 anggota rombongan yang
menyertainya, Malik mengarungi samudra berhari-
hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu, Gresik,
pada 1380 M. Mengenai tahun ''pendaratan'' ini pun
terdapat beberapa versi.
Buku pegangan juru kunci makam Maulana Malik
Ibrahim, misalnya, mencantumkan tahun 1392.
Beberapa naskah lain bahkan menyebut tahun
1404. Rombongan Malik kemudian menetap di Desa
Leran, sekitar sembilan kilometer di barat kota
Gresik. Ketika itu, Gresik berada di bawah Kerajaan
Majapahit.
Dari sinilah Malik mulai meluncurkan dakwahnya,
dengan gaya menjauhi konfrontasi. Sebagian besar
masyarakat setempat ketika itu menganut Hindu,
''agama resmi'' Kerajaan Majapahit. Sunan
melalukan sesuatu yang sangat sederhana:
membuka warung. Ia menjual rupa-rupa makanan
dengan harga murah.
Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi
orang. Malik melangkah ke tahap berikutnya:
membuka praktek sebagai tabib. Dengan doa-doa
yang diambil dari Al-Quran, ia terbukti mampu
menyembuhkan penyakit. Sunan Gresik pun seakan
menjelma menjadi ''dewa penolong''. Apalagi, ia tak
pernah mau dibayar.
Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu, Sunan
Gresik cepat dikenal, karena ia sanggup menerobos
sekat-sekat kasta. Ia memperlakukan semua orang
sama sederajat. Berangsur-angsur, jumlah
pengikutnya terus bertambah. Setelah jumlah
mereka makin banyak, Sunan Gresik mendirikan
masjid.
Ia juga merasa perlu membangun bilik-bilik tempat
menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah
yang kemudian dikenal dengan nama pesantren.
Dalam mengajarkan ilmunya, Malik punya
kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab
hadis di atas bantal. Karena itu ia kemudian dijuluki
''Kakek Bantal''.
Kendati pengikutnya terus bertambah, Malik merasa
belum puas sebelum berhasil mengislamkan Raja
Majapahit. Ia paham betul, tradisi Jawa sarat
dengan kultur ''patron-client''. Rakyat akan selalu
merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Karena
itu, mengislamkan raja merupakan pekerjaan yang
sangat strategis.
Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung berdakwah
ke raja, pasti tak akan digubris, karena posisinya
lebih rendah. Karena itu ia meminta bantuan
sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain. Konon,
Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Tetapi J.
Wolbers, dalam bukunya Geschiedenis van Java,
menyebut Cermain tak lain adalah Kerajaan Gedah,
alias Kedah, di Malasyia.
Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya,
Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal. Dewi
yang berwajah elok itu akan dipersembahkan
kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabang-
cabanglah cerita mengenai ''Raja Majapahit'' itu..
Ada yang menyebut raja itu Prabu Brawijaya V.
Tetapi menurut Wolbers, raja tersebut adalah
Angkawijaya.
Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam bukunya,
Riwayat Maulana Malik Ibrahim, nama Angkawijaya
tidak dikenal, baik dalam Babad Tanah Jawi
maupun Pararaton. Nama Angkawijaya tercantum
dalam Serat Kanda. Di situ disebutkan, dia adalah
pengganti Mertawijaya, alias Damarwulan --suami
Kencana Wungu.
Angkawijaya mempunyai selir bernama Ni Raseksi.
Tetapi, kalau dicocokkan dengan Babad Tanah Jawi,
raja Majapahit yang mempunyai selir Ni Raseksi
adalah Prabu Brawijaya VII. Cuma, menurut catatan
sejarah, Prabu Brawijaya VII memerintah pada
1498-1518. Periode ini jadi ''bentrokan'' dengan
masa hidup Maulana Malik Ibrahim.
Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja yang
dimaksud adalah Hyang Wisesa, alias
Wikramawardhana, yang memerintah pada
1389-1427. Terlepas dari siapa sang raja
sebenarnya, yang jelas penguasa Majapahit itu
akhirnya bersedia menemui rombongan Raja
Cermain. Sayang, usaha mereka gagal total.
Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari, tetapi
menolak masuk Islam. ''Bargaining'' seperti ini tentu
diotolak rombongan Cermain. Sebelum pulang ke
negerinya, rombongan Cermain singgah di Leran.
Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka
menetap di rumah Sunan Gresik.
Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba merajalelalah
wabah penyakit. Banyak anggota rombongan
Cermain yang tertular, bahkan meninggal. Termasuk
Dewi Sari. Raja Cermain dan sebagian kecil
pengawalnya akhirnya bisa pulang ke negeri
mereka. Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan
kegagalan ''misi'' itu. Ia terus melanjutkan
dakwahnya hingga wafat, pada 1419.

KISAH SUNAN GIRI

KISAH SUNAN GIRI

SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah
gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT,
ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening
malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak,
kembali terngiang: ''Kelak, bila tiba masanya,
dirikanlah pesantren di Gresik.'' Pesan yang tak
terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis
dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai
bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di
sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia
kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula
Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam
bahasa Sansekerta, ''giri'' berarti gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan
kebesaran Pesantren Giri --yang berkembang
menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga
bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu
hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer
dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah
langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid,
tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada
juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1
x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung.
''Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,''
kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam
Sunan Giri, kepada GATRA.
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru
Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok,
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad
Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran
sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren
Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih,
karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas
Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat,
yang dianggapnya merusak kemurnian Islam.
Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin
kaum ''putihan'', aliran yang didukung Sunan Ampel
dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap
cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan
Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan
pendekatan kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat
sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan
Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para
wali ini sempat memuncak pada peresmian Masjid
Demak. ''Aliran Tuban'' --Sunan Kalijaga cs--ingin
meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi,
menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap
haram, karena gambar wayang itu berbentuk
manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia
mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis
dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang
beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan
Ampel, ''ketua'' para wali, wafat pada 1478, Sunan
Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan
Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9
Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari
jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan
Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli
politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun
peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di
keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan
rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai
kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan
Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri.
Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas
sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu,
dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah
kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah
sejarah Through Account of Ambon, serta berita
orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku.
Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri
disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma,
atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak
pun, peran Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang
Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478,
Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan.
Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan
tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada
Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya
Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan
dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa.
Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja
di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri
lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan
pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga
tidak jelas batas wilayahnya.
Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah
ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari
Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya
Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan
bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri
bermula ketika Maulana Ishak tertarik mengunjungi
Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama
Islam.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih
sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah
Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan
sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja
Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit.
Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.
Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa
yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki
akan dijodohkan dengannya, bila perempuan
dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada
seorang pun yang sanggup memenangkan
sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu
mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa
sakti.
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan
seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya.
Resi inilah yang memberi ''referensi'' tentang Syekh
Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau
mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak
Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam.
Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana
Ishak pun dipenuhi.
Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam.
Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan
Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu
tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia
malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil
mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia
berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan
mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh
Maulana Ishak.
Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya
meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai.
Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada
Dewi Sekardadu --yang sedang mengandung tujuh
bulan-- agar anaknya diberi nama Raden Paku.
Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak
Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak
Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam
sebuah peti.
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal
dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali.
Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih,
pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang
kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan
dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko
Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel,
untuk belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar
''Maulana `Ainul Yaqin''. Setelah bertahun-tahun
belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden
Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel
untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus
singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh
Maulana Ishak.
Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan
Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah
belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali
ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali
Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu
memintanya mendirikan pesantren di sebuah
tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan
yang diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada.
Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas.
Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti
para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506
Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di
Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik,
Jawa Timur.

KISAH SUNAN DRAJAT

KISAH SUNAN DRAJAT

Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang
punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal
sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih
banyak nama lain yang disandangnya di berbagai
naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan
Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam,
Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran
Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.
Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan
dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati.
Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan
Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri,
Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan
seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan
halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang
mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa
kanak dan remajanya di kampung halamannya di
Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia
diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk
berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke
Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak
berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya,
dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah
perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah
dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah
barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan
berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia
ditolong ikan cucut dan ikan talang --ada juga yang
menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim
berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian
dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati.
Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar
1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik
oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu
dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh
pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di
sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim
kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan
Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak,
Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan
akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan
penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil,
lambat laun berkembang menjadi kampung besar
yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar.
Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan,
sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang
lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim
hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan
Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap
tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah
Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak,
penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan
baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa
hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai
daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang
marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka
meneror penduduk pada malam hari, dan
menyebarkan penyakit. Namun, berkat
kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi.
Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat
bersama para pengikutnya membangun
permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat
menempati sisi perbukitan selatan, yang kini
menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai
Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh
di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang
menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran
Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem
Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini
dibangun sebuah museum tempat menyimpan
barang-barang peninggalan Sunan Drajat --
termasuk dayung perahu yang dulu pernah
menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat
tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan
dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan
kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para
pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik
melalui perkataan maupun perbuatan. ''Bapang den
simpangi, ana catur mungkur,'' demikian petuahnya.
Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan
yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi
melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep
dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa
memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan
menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian
secara langsung di masjid atau langgar. Kedua,
melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam
menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan
Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur
dengan iringan gending. Terakhir, ia juga
menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat
tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring
teken marang kang kalunyon lan wuta; paring
pangan marang kang kaliren; paring sandang
marang kang kawudan; paring payung kang
kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang
buta; berikan makan kepada yang kelaparan;
berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan
payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan
masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari
perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa
aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus
yang, konon, merajalela selama dan setelah
pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga
berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan
penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
''Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,'' katanya
dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga
yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan
ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para
wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan
kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan
Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia
merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut
wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia
berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu
memancar air bening --yang kemudian menjadi
sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat
disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah
menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa
Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar,
putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi.
Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat
adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati.
Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden
Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji
kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif
Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga
kini, memang ada tradisi ''saling memuridkan''.
Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi
Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia
pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran
Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang
menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi
kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup
makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat,
Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah
masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat.
Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat
mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan
Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau
Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan
anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang
menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah
dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai
empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa
meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak
setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali
Sanga babadipun Para Wali mencatat: ''Duk samana
anglaksanani, mangkat sakulawarga....'' Sewaktu
diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon
berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di
mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah?
Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno
untuk menjawabnya.
Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad,
kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa
Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun
Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di
jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di
bidang kesenian.

KISAH SUNAN BONANG

KISAH SUNAN BONANG

Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan
Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana
Makhdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi
Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah
putri Prabu Kertabumi ada pula yang berkata
bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat
Adipati Tuban yang sudah beragama Islam yaitu
Ario Tejo.
Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap
Mufti atau pemimpin agama se Tanah Jawa,tentu
saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat
tinggi.
Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi
pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha
para Wali itu lebih berat dari pada orang awam.
Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang
besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga
mempersiapkan sebaik mungkin. Disebutkan dari
berbagai literature bahwa Raden Makdum Ibrahim
dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan
pelajaran agama Islam hingga ke Tanah
seberang,yaitu Negeri Pasai. Keduanya menambah
pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau
ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada
para ulama besar yang banyak menetap di Negeri
Pasai.Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari
Bagdad, Mesir, Arab dan Persi atau Iran. Sesudah
belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan
Raden Paku pulang keJawa. Raden Paku kembali ke
Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga
terkenal sebagai Sunan Giri.
Sedang Raden Makdum Ibrahim diperintahkan
Sunan Ampel untuk berdakwah diTuban. Dalam
berdakwa Raden Makdum Ibrahim ini sering
mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik
simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan
yang disebut Bonang.
Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan
dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan
kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu
ditelinga penduduk setempat. Lebih -lebih bila
Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan
alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang
mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga
beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi
para pendengarnya. Setiap Raden Makdum Ibrahim
membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk yang
datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit
dari mereka yang ingin belajar membunyikan
Bonang sekaligus melagukan tembang -tembang
ciptaan Raden Makdum Ibrahim.
Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang
dijalankan penuh kesabaran.Setelah rakyat berhasil
direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran
Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum
Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran
agama Islam.Sehingga tanpa terasa penduduk sudah
mempelajari agama Islam dengan senang hati,
bukan dengan paksaan.
Diantara tembang yang terkenal ialah :
"Tamba ati iku sak warnane,
Maca Qur'an angen-angen sak maknane,
Kaping pindho shalat sunah lakonona,
Kaping telu wong kang saleh kancanana,
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe,
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe,
Sopo wongƩ bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah
nyemba dani.
Artinya :
Obat sakit jiwa ( hati ) itu ada lima jenisnya.
Pertama membaca Al-Qur'an dengan artinya,
Kedua mengerjakan shalat malam ( sunnah
Tahajjud ),
Ketiga sering bersahabat dengan orang saleh
( berilmu ),
Keempat harus sering berprihatin ( berpuasa ),
Kelima sering berdzikir mengingat Allah di waktu
malam,
Siapa saja mampu mengerjakannya, Insya Allah
Tuhan Allah mengabulkan.
Hingga sekarang lagi ini sering dilantunkan para
santri ketika hendak shalat jama'ah, baik di
pedesaan maupun dipesantren. Murid-murid Raden
Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang
berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun
Madura. Karena beliau sering mempergunakan
Bonang dalam berdakwah maka masyarakat
memberinya gelar Sunan Bonang. Beliau juga
menciptakan karya sastra yang disebut Suluk.Hingga
sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap
sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan
dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan
Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas
Leiden, Belanda. (Nederland )
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk
penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut
membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh
masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal sebagai
pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang
memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung sebagai
panglima tentara Islam Demak.
Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula
yang mengangkat Sunan Kudus sebagai panglima
perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada
Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi
Majapahit. Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil
dalam membuat keputusan yang memuaskan
banyak orang, melalui sidang-sidang ''pengadilan''
yang dipimpinnya.
Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti
Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Lokasi
''pengadilan'' itu sendiri punya dua versi. Satu versi
mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung
Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan,
sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung Demak.
Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan
Raden Patah.
Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang
mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya
Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari
Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-
Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran
Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan
disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama:
tasawuf, ussuludin, dan fikih.
Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan
Bonang menjadi penting karena menunjukkan
bagaimana orang Islam menjalani kehidupan
dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada
Allah. Para penganut Islam harus menjalankan,
misalnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat.
Selain itu, manusia harus menjauhi tiga musuh
utama: dunia, hawa nafsu, dan setan.
Untuk menghindari ketiga ''musuh'' itu, manusia
dianjurkan jangan banyak bicara, bersikap rendah
hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas
nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus menjauhi
sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat
dan kehormatan. Menurut Gunning dan Schrieke,
naskah ajaran Sunan Bonang merupakan naskah
Wali Songo yang relatif lebih lengkap.
Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan
kalaupun ada, tak begitu lengkap. Di situ disebutkan
pula bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari
ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana
Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan
Kalijaga, dan Sunan Muria.
Dikisahkan beliau pernah menaklukkan seorang
pemimpin perampok dan anak buahnya hanya
mempergunakan tambang dan gending. Dharma
dan irama Mocopa,t Begitu gending ditabuh
Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu
bergerak, seluruh persendian mereka seperti
dilolosi dari tempatnya. Sehingga gagallah mereka
melaksanakan niat jahatnya.
"Ampun.......... hentikanlah bunyi gamelan itu, kami
tidak kuat !" Demikian rintih Kebondanu dan anak
buahnya.
"Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak
berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati
kalian tidak buruk dan jahat."
"Ya, kami menyerah, kami tobat !Kami tidak akan
melakukan perbuatan jahat lagi, tapi.......... "
Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.
"Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu !" ujar
Sunan Bonang.
"Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami
yang sudah tak terhitung lagi banyaknya," kata
Kebondanu dengan ragu. "Kami sudah sering
merampok, membunuh dan melakukan tindak
kejahatan lainnya."
"Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja," kata
Sunan Bonang. "Allah adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun dan Penerima tobat."
"Walau dosa kami setinggi gunung ?" Tanya
Kebondanu.
"Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak
pasir dilaut."
Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan
menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian
pula anak buahnya. Pada suatu ketika juga ada
seorang Brahmana sakti dari India yang berlayar ke
Tuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan
berdebat tentang masalah keagamaan dengan
Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju
Tuban, perahunya terbalik dihantam badai.
Walaupun ia dan para pengikutnya berhasil
menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang
hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan
Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Di tepi pantai
mereka melihat seorang lelaki berjubah putih
sedang berjalan sembari membawa tongkat.
Mereka menghentikan lelaki itu dan menyapanya.
Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan
menancapkan tongkatnya ke pasir.
"Saya datang dari India hendak mencari seorang
ulama besar bernama Sunan Bonang."kata sang
Brahmana.
"Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang?" tanya
lelaki itu.
"Akan saya ajak berdebat tentang masalah
keagamaan,kata sang Brahmana."Tapi sayang kitab
- kitab yang saya bawa telah tenggelam kedasar
laut."
Tanpa banyak bicara lelaki itu mencabut tongkatnya
yang menancap dipasir,mendadak tersemburlah air
dari lubang tongkat itu, membawa keluar semua
kitab yang dibawa sang Brahmana.
"Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam kedasar
laut?"Tanya lelaki itu.
Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-
kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri.
Berdebarlah hati sang Brahmana sembari
menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah
putih itu.
"Apakah nama daerah tempat saya terdampar
ini?"tanya sang Brahmana
"Tuan berada dipantai Tuban !"jawab lelaki itu.Serta
merta Brahmana dan para pengikutnya
menjatuhkan diri berlutut dihadapan lelaki
itu.Mereka sudah dapat mendiga pastilah lelaki
berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.
Siapalagi orang sakti berilmu tinggi yang berada
dikota Tuban selain Sunan Bonang.Sang Brahmana
tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan
Bonang untuk adu kesaktian dan mendebat masala
Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang
ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan
satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban,
Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari
tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman
dibatasi tembok berpintu gerbang.Adalagi legenda
aneh tentang Sunan Bonang.Sewaktu beliau wafat,
jenasahnya hendak dibawa ke Surabaya untuk
dimakamkan disamping Sunan Ampel yaitu
ayahandanya.Tetapi kapal yang digunakan
mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak
sehingga terpaksa jenazahnya Sunan Bonang
dimakamkan di Tuban yaitu disebelah barat Masjid
Jami 'Tuban.

10 Mei 2012

7 Tive Wanita yang di jauhi laki-laki

Susah dapat pacar atau tidak ada kelanjutan hubungan setelah kencan pertama? Mungkin perilaku Anda penyebabnya. Berdasarkan survey yang dilansir Pravda, rata-rata pria akan kesal jika melihat temanwanitanya mengomentari penampilan wanita lain. Apa lagi perilaku yang bisa ‘menurunkan’ nilai wanita di mata pria? Ini jawabannya, seperti dilansir Times of India & iVillage.
1. Terlalu Pintar
Setiap orang menyukai wanita yang pintar dan dapat menyuarakan pendapatnya tentang segala hal. Namun wanita dengan kepercayaan diri terlalu besar dan terlalu kuat dalam berpendapat dapat membuat pria ‘mundur’. Mereka akan merasa ego dan harga dirinya dijatuhkan.
2. Matrealistis
Banyak pria yang royal kepada wanitanya, namun terkadang wanita memanfaatkannya dengan terus menguras dompet si pria dengan memintanya untuk membayar belanjaan. Pria akan mengetahui jika dia sedang dimanfaatkan. Tentu dia merasa tidak dicintai jika Anda hanya membutuhkan uangnya saja.
 
3. Suka Mengritik
Pria tidak suka mendengar wanita mengomentari kejelekan wanita lain. Pria akan hilang ketertarikannya jika mendapati wanita yang membandingkan pakaian, sepatu dan tas mereka dengan wanita lain. Asal tahu saja, pria biasanya kurang memerhatikan apakah seorang wanita punya selera berbusana yang baik, atau memakai merek tertentu.
4. Tukang Mengeluh
Jika setiap hari yang kita bicarakan hanya keluhan dan menggosipkan kejelekan orang, jangan salahkan siapa-siapa jika Anda tak bisa menemukan pria yang tepat. Banyak pria tidak mengerti kenapa para wanita suka bergosip dan mengeluh.
5. ‘Pengawas’ Berat Badan
Anda suka mengeluhkan berat badan di depan pria? Siap-siaplah mendapat komplain dari mereka. Jika Anda tiba-tiba panik hanya karena satu kali makan es krim untuk dessert, pria tidak bisa memahaminya. Kalaupun Anda merasa khawatir dengan bentuk tubuh, cukup bicarakan kepada teman atau keluarga.
6. Si Gila Kerja
Setiap bertemu, yang Anda bicarakan hanyalah deadline tugas dari bos, presentasi yang njelimet, teman kerja yang menyebalkan atau office boy yang salah membeli pesanan makanan. Boleh saja membicarakan masalah pekerjaan, tapi jika sepanjang pertemuan selalu tentang Anda dan rumitnya tugas kantor pria pun akan bosan.
7. Terlalu Tergantung
Menjalin hubungan bukan berarti bersama-sama sepanjang waktu. Hal tersebut menunjukkan bahwa Anda adalah seseorang yang terlalu tergantung dengan orang lain. Ketergantungan ini bisa menghilangkan rasa ketertarikannya terhadap Anda.
 
Sumber. echa nandha utama

6 Mei 2012

KISAH SUNAN MURIA

KISAH SUNAN MURIA

RADEN Umar Said sedang asyik berceramah di
padepokannya di Desa Colo, Kecamatan Dawe,
Kudus, ketika seorang pemuda datang berkunjung.
Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden
Bambang Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra
Raden Umar. Raden Umar terkejut mendengarnya. Ia
segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang.
Tetapi, Kebo Anabrang tetap bersikeras, tak mau
meninggalkan padepokan sebelum Raden Umar
mengaku sebagai ayahnya. Karena terus didesak,
Raden Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan satu
syarat: Kebo Anabrang harus memindahkan salah
satu pintu gerbang Kerajaan Majapahit di Trowulan,
Mojokerto, ke padepokannya dalam semalam.
Padahal, jaraknya mencapai sekitar 350 kilometer.
Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu gerbang itu
enteng saja dipikulnya. Tetapi, dalam perjalanan,
Kebo Anabrang dihadang Raden Ronggo dari
Kadipaten Pasatenan Pati. Raden Ronggo juga
memerlukan gerbang itu untuk mempersunting Roro
Pujiwati, putri Kiai Ageng Ngerang. Siapa saja yang
sanggup membawa gerbang Majapahit itu ke Juana
berhak melamar Roro Pujiwati.
Terjadilah pertarungan sengit. Masing-masing
mengeluarkan kesaktiannya. Raden Umar terpaksa
turun langsung melerai pertengkaran itu. ''Siapa
yang sanggup mengangkat pintu gerbang, dialah
yang berhak,'' kata Raden Umar. Ternyata, hanya
Kebo Anabrang yang sanggup mengangkatnya. Ia
pun melanjutkan perjalanan.
Tapi, apa lacur. Begitu melangkahkan kaki,
terdengar kokok ayam bersahutan, pertanda pagi
menjelang. Padahal, ia baru mencapai Dusun
Rondole, Desa Muktiharjo, yang bejarak lima
kilometer dari kota Pati. Konon, sampai kini pintu
gerbang itu masih berdiri dan dikeramatkan
penduduk setempat.

KISAH SUNAN KUDUS

KISAH SUNAN KUDUS

MESKI namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli
Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang
mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25
kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah.
Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja'far
Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan
Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji)
dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa
jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima
perang yang tangguh.
Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam
peperangan antara Demak dan Majapahit. Setelah
itu, Ja'far Shodiq menggantikan posisi ayahnya.
Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah
Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan
Demak. Kenyataannya, Ja'far Shodiq terbukti hebat
di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian
ayahnya.
Ja'far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah
Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan
ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian
memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja'far
Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja'far Shodiq
diberi badong --semacam rompi-- oleh Sunan
Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena
perang.
Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan
tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus
itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-
jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang
langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa
mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit
Majapahit yang tewas disengat tawon.
Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati
Terung, menyerah kepada pasukan Ja'far Shodiq.
Usai perang, Ja'far Shodiq menikahi putri Adipati
Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak.
Selama hidupnya, Ja'far Shodiq sendiri juga punya
istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang
menghasilkan satu anak.
Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi
Ja'far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas
lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat,
yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak.
Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang
disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah
Pengging --wilayah Boyolali-- dan sekitarnya.
Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri
bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan
pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang
mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan
Tingkir digambarkan sebagai saudara seperjuangan,
yang saling menyayangi bagaikan saudara kandung.
Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin
kentara ketika ia menolak menghadap Raja Demak,
Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat
Raden Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh
Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah memutuskan
untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga
itu.
Raden Patah memerintahkan Ja'far Shodiq
''meredam'' Kebo Kenanga. Dalam sebuah
pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun,
kehebatan Ja'far Shodiq sebagai panglima perang
lama-kelamaan surut. Bahkan, menjelang
kepindahannya ke Kudus, Ja'far Shodiq tidak lagi
menjadi panglima perang, melainkan menjadi
penghulu masjid di Demak.
Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja'far
Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja'far Shodiq
berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan
lain, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Sunan
Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja'far
Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata.
Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui
Sunan Kalijaga sebagai guru baru.
Bagi Ja'far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka
karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika
Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja'far
Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya
Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung
Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak tega,
maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang
bernama Rangkud.
Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya,
setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata
bersandar ke badan istrinya, karena keduanya
tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa
diduga, sebelum mengembuskan napas
penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai
Bethok ke tubuh Rangkud.
Versi lain menyebutkan, Ja'far Shodiq meninggalkan
Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup
merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk
kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan
persisnya Ja'far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf
dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam
Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan
beberapa catatan tentang aktivitas Ja'far Shodiq di
sana.
Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja'far Shodiq
menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih
bernama Tajug. Menurut penuturan warga
setempat, yang mula-mula mengembangkan kota
Tajug adalah Kiai Telingsing. Ada yang menyebut,
Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada
The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.
Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah
berkembang sebelum kedatangan Ja'far Shodiq.
Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja'far
Shodiq merupakan penghulu Demak yang
menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja'far Shodiq
mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam
kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah
Ja'far Shodiq itu merupakan para santri yang
dibawanya dari Demak.
Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-
sama Ja'far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain
menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan
warga setempat yang dipekerjakan Ja'far Shodiq
untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan
bahwa Ja'far Shodiq mula-mula hidup dari
penghasilan menggarap lahan pertanian.
Setelah jamaahnya makin banyak, Ja'far Shodiq
kemudian membangun masjid sebagai tempat
ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat
ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shodiq
adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih
berdiri. Nama Ja'far Shodiq tercatat dalam inskripsi
masjid tersebut.
Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada
956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam
inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang
artinya, ''... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di
negeri Quds...'' Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq
menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa, setara
dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.
Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds,
yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada
akhirnya, Ja'far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan
sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan
agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan
Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri
handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan
perlawanan frontal, melainkan mengarahkan
masyarakat sedikit demi sedikit.
Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi
penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun berusaha
memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat
Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru
menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari
raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari
penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut
Hindu.
Cara yang simpatik itu membuat para penganut
agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama
Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang
dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan
Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar.
Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak
meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk
menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid
Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan
sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh karena di
halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara
kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama
Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup
dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa
dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil
menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga
mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah arab
konon berjangkit suatu wabah penyakit yang
membahayakan, penyakit itu menjadi reda berkat
jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir
disana berkenan untuk memberikan suatu hadiah
kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya
kenang-kenangan sebuah batu yang beliau minta.
Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul
Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan
kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta
bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus.
Bahkan menara yang terdapat di depan masjid
itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan
Menara Kudus. Mengenai nama Kudus atau Al
Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara
lain disebutkan : "Al kuds the usual arabic nama for
Jeruzalem in later times, the olders writers call it
commonly bait al makdis ( according to some :
mukaddas ), with really meant the temple (of
solomon), a translation of the hebrew
bethamikdath, but it because applied to the whole
town."
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah
adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan
menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk
mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus
menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah
berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan
kapan persisnya hari pertama puasa.
Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung,
tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan,
banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi,
mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman
awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah
yang dijajakan para pedagang musiman.
Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat
Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara
Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik
tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya
yaitu Sunan Kudus.
Legenda Kota Kudus
Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat
setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang
terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya,
Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti,
yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan
otak dan tenaga manusia biasa.
Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan
masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa pada
zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta
bermukim disana. Kemudian beliau menderita
penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga oleh
kawan - kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah
kenapa timbullah malapetaka yang menimpa negeri
Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit. Segala
daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya
tersebut, namun kiranya usaha itu sia - sia belaka.
Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk
memberikan jasa - jasa baiknya. Bahaya itupun
karena kesaktian beliau menjadi reda kembali. Atas
jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan
memberi hadiah kepada beliau sebagai pembalasan
jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian
hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya
meminta sebuah batu sebagai kenang - kenangan
yang akan dipakai sebagai peringatan bagi
pendirian masjid di Kudus.
Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon
kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di
Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama
kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa jauh
sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan
di Kudus, telah ada seorang tokoh terkemuka
disana ialah Kyai Telingsing. karena beliau sudah
lanjut usia maka ia ingin mencari penggantinya.
Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil
menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang
dicarinya (bhs. Jawa : ingak - inguk), tiba - tiba
Sunan Kudus pun muncul dari arah selatan, dan
masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang
amat singkat, malahan ada yang mengatakan
bahwa masjid itu tiba - tiba muncul denga
sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban), berhubungan
dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama :
Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid
Nganguk Wali.
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan,
bahwa baik Menara Kudus maupun lawang
kembar, masing - masing di bawa oleh beliau
dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab,
sedangkan lawang kembar, katanya di pindahkan
beliau dari Majapahit.
Legenda daerah Jember
Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki
Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan Kudus.
tamu tersebut mengendarai sebuah tampah.
sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak lah
langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan
memamerkan kesaktianya dengan mengendarai
tampah serta berputar - putar diangkasa. Seketika
dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka
sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini
menyombongkan kesaktianya. Sesudah di sabda
oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah
yang ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke
bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs.
Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut
kemudian dinamakan Jember
Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa
pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan lele,
kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya,
dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah
sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala
itupun hidup kembali.
Di dalam "Babad Tanah Jawi" serta kepustakaan
Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil Sunan
Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah
memimpin tentara Demak melawan Majapahit.
Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan Kudus
lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo
Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang
di pandang sangat membahayakan masyarakat yang
baru saja memeluk agama Islam.

KISAH SUNAN KALI JOGO/JAGA

KISAH SUNAN KALI JOGO

1. ASAL USUL.
Sudah banyak orang tahu bahwa Sunan Kalijaga itu
aslinya bernama Raden Said.
Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta.
Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden
Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe
yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri
sudah masuk agama Islam.
Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada
agama Islam oleh guru agama Kadipaten
Tuban.Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau
lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan
rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak.
Gelora jiwa muda Raden said seakan meledak-
ledak manakala melihat praktek oknum pejabat
Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada
penduduk atau rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita
dikarenakan adanya musim kemarau panjang,
semakin sengsara, mereka harus membayar pajak
yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan
yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka.
Seringkali jatah mereka untuk persediaan
menghadapi musim panen berikutnya sudah disita
para penarik pajak. Raden Said yang mengetahui hal
itu pernah mengajukan pertanyaan yang mengganjal
di hatinya. Suatu hari dia menghadap ayahandanya.
"Rama Adipati, rakyat tahun ini sudah semakin
sengsara karena panen banyak yang gagal," kata
Raden Said. "Mengapa pundak mereka masih harus
dibebani dengan pajak yang mencekik leher
mereka. Apakah hati nurani Rama tidak merasa
kasihan atas penderitaan mereka ?"
Adipati Wilatikta menatap tajam kea rah putranya.
Sesaat kemudian dia menghela nafas panjang dan
kemudian mengeluarkan suara, "Said anakku..... saat
ini pemerintah pusat Majapahit sedang
membutuhkan dana yang sangat besar untuk
melangsungkan roda pemerintahan. Aku ini
hanyalah seorang bawahan sang Prabu, apa dayaku
menolak tugas yang dibebankan kepadaku. Bukan
hanya Kadipaten Tuban yang diwajibkan membayar
upeti lebih banyak dari tahun-tahun yang lalu.
Kadipaten lainnya juga mendapat tugas serupa."
"Tapi...... mengapa harus rakyat yang jadi korban."
Sahut Raden Said. Tapi Raden Said tak meneruskan
ucapannya. Dilihatnya saat itu wajah ayahnya
berubah menjadi merah padam pertanda hatinya
sedang tersinggung atau naik pitam. Baru kali ini
Raden Said membuat ayahnya marah. Hal yang
selama hiduptak pernah dilakukannya.
Raden Said tahu diri. Sambil bersungut-sungut dia
merunduk dan mengundurkan diri dari hadapan
ayahnya yang sedang marah.
Ya, Raden Said tak perlu melanjutkan pertanyaan.
Sebab dia sudah dapat menjawabnya sendiri.
Majapahit sedang membutuhkan dana besar karena
negeri itu sering menghadapi kekacauan, baik
memadamkan pemberontakan maupun terjadinya
perang saudara.
Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia
lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak
terikat oleh adapt istiadat kebangsawanan. Dia
gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan
segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah
hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya
yang supel itulah dia banyak mengetahui selukbeluk
kehidupan rakyat Tuban. Niat untuk mengurangi
penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada
ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat
banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi
ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi
niat itu tak pernah padam.
Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di
dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-
ayat suci Al-Qur'an, maka sekarang dia keluar
rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap,
Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang
ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit.
Bahan makan itu dibagi-bagikan kepada rakyat
yang sangat membutuhkannya.
Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi
kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak
diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa
gerangan yang memberikan rezeki itu, sebabnya
Raden Said melakukannya di malam hari secara
sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang
seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang
Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit,
soalnya makin hari barangbarang yang hendak
disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu makin
berkurang.
Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil
bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja
sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah
rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.
Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu
gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu
memperhatikan, pencuri itu.Dia hampir tak percaya,
pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungannya
sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati
Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat
fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua
orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki
pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang
tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam
itu perbuatannya bakal ketahuan.
Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil
membawa bahan-bahan makanan, tiga orang
prajurid Kadipaten menangkapnya beserta barang
bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa
kehadapan ayahnya.
"Sungguh memalukan sekali perbuatanmu itu !"
hardik Adipati Wilatikta. "Kurang apakah aku ini,
benarkah aku tak menjamin kehidupanmu di istana
Kadipaten ini ?
Apakah aku pernah melarangnya untuk makan
sekenyang-kenyangnya di Istana ini ?
Atau aku tidak pernah memberimu pakaian ?
Mengapa kau lakukan perbuatan tecela itu ?"
Raden Said tidak mengeluarkan suara. Biarlah, bisik
hatinya. Biarlah orang tak pernah tahu untuk apa
barang-barang yang tersimpan di gudang
Kadipaten itu kuambil. Biarlah ayahku tak pernah
tahu kepada siapa barang-barang itu kuberikan.
Adipati Wilatikta semakin marah melihat sikap
anaknya itu. Raden Said tidak menjawabnya untuk
apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang
hendak disetorkan ke Majapahit itu.
Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman,
karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali
dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman
cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian
disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar
rumah.
Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah
diterimanya ? Sesudah keluar dari hukuman dia
benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak
pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan
adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said
selanjutnya ?
Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba
hitam dan kemudian merampok harta orang-orang
kaya di kabupaten Tuban. Terutama orang kaya
yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang.
Harta hasil rampokan itupun diberikannya kepada
fakir miskin dan orang-orang yang menderita
lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik
jenuh ada saja orang yang bermaksud
mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati yang
mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat
kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan
pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan
juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said
juga.
Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja
menyelesaikan shalat IsyĆ” mendengar jerit tangis
para penduduk desa yang kampungnya sedang
dijarah perampok.
Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu
mengetahui kedatangan Raden Said, kawanan
perampok itu segera berhamburan melarikan diri.
Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik
memperkosa seorang gadis cantik. Raden Said
mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang
diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat
seseorang berpakaian seperti dirinya, juga
mengenakan topeng serupa sedang berusaha
mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia
sudah selesai memperkosa gadis itu.
Raden Said berusaha menangkap perampok itu.
Namun pemimpin rampok itu berhasil melarikan
diri. Mendadak terdengar suara kentongan di pukul
bertalu-talu, penduduk dari kampung lain
berdatangan ke tempat itu.Pada saat itulah si gadis
yang baru diperkosa perampok tadi
menghamburkan diri dan menangkap erat-erat
tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan
kebingungan.Para pemuda dari kampung lain
menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden
Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran mencoba
membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu
mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang
kepala desa jadi terbungkam. Sama sekali tak
disangkanya bahwa perampok itu adalah putra
junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah
masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap
perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa
adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu.
Sang kepala desa masih berusaha menutup aib
junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said
ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang
banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka.
Sang Adipati yang selama ini selalu merasa sayang
dan selalu membela anaknya kali ini juga naik
pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten
Tuban.
"Pergi dari Kadipaten Tuban ini !" kau telah
mencoreng nama baik keluargamu sendiri ! pergi !
jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan
dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan
ayat-ayat Al-Qur'an yang sering kau baca di malam
hari !"
Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas
kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat
menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban
ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu.
Sirna sudah segala harapan sang adipati. Hanya ada
satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan
Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden said.
Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak
mungkin melakukan perbuatan keji. Hati siapa yang
takkan hancur mengalami peristiwa seperti ini.
Raden Said bermaksud menolong fakir miskin dan
penduduk yang menderita tapi akibatnya justru dia
sendiri yang harus menelan derita. Diusir dari
Kadipaten Tub an.
Orang tua mana yang tak terpukul batinnya
mengetahui anak dambaan hati tiba-tiba berbuat
jahat dan menghancurkan nama dan masa
depannya sendiri. Tapi itulah peristiwa yang
memang harus dialami oleh Raden Said. Seandainya
tidak ada fitnah seperti itu, barangkali Raden Said
tidak bakal menjadi seorang ulama besar, seorang
Wali yang dikagumi oleh seluruh penduduk Tanah
Jawa. Raden Said betul-betul meninggalkan
Kadipaten Tuban.
Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya
itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan
ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban
untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.
Tentu saja sang ayah dan ibu kelabakan mengetahui
hal ini. Segera saja diperintahkan puluhan prajurit
Tuban untuk mencari Dewi Rasawulan tak pernah
ditemukan oleh mereka.
Di dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan bahwa
Dewi Rasawulan pada akhirnya telah ditemukan
oleh Empu Supa, seorang Tumenggung Majapahit
yang menjadi murid Sunan Kalijaga. Dewi Rasawulan
kemudian dijodohkan dengan Empu Supa. Dan
kembali ke Tuban bersama-sama dengan diantar
Sunan Kalijaga yang tak lain adalah Raden Said
sendiri.
2. MASA PENGGEMBLENGAN DIRI.
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari
Kadipaten Tuban ? Ternyata ia mengembara tanpa
tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan
Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi
perampok budiman. Mengapa disebut perampok
budiman ?
Karena hasil rampokannya itu tak pernah
dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada
fakir miskin. Yang dirampoknya hanya para
hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak
menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar
zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama
aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal
Lokajaya.
Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat
di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah
mengincarnya. Orang itu membawa sebatang
tongkat yang gagangnya berkilauan.
"Pasti gagang tongkat itu terbuat dari emas," bisik
Brandal Lokajaya dalam hati.
Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu.
Setelah dekat dia hadang langkahnya sembari
berkata, "Orang tua, apa kau pakai tongkat ?
Tampaknya kau tidak buta, sepasang matamu
masih awas dan kau juga masih kelihatan tegar,
kuat berjalan tanpa tongkat !"
Lelaki berjubah putih itu tersenyum, wajahnya
ramah, dengan suara lembut dia berkata, "Anak
muda.......... Perjalanan hidup manusia itu tidak
menentu, kadang berada di tempat terang, kadang
berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku
tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan."
"Tapi.......... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat
saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan
ini." Sahut Raden Said. Kembali lelaki berjubah putih
itu tersenyum arif, "anak muda.......... Perjalanan
hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di
tempat terang, kadang berada di tempat gelap,
dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila
berjalan dalam kegelapan."
"Tetapi.......... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat
saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan
ini." Sahut Radeb Said. Kembali lelaki berjubah putih
itu tersenyum arif, "Anak muda tongkat adalah
pegangan, orang hidup haruslah mempunyai
pegangan supaya tidak tersesat dalam menempuh
perjalanan hidupnya."
Agaknya jawab-jawab yang mengandung filosofi itu
tak menggugah hati Raden Said. Dia mendengar dan
mengakui kebenarannya tapi perhatiannya terlanjur
tertumpah kepada gagang tongkat lelaki berjubah
putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya
tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena
tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang
berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang
matanya mengeluarkan air walau tak ada suara
tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu
sedang mengamat-amati gagang tongkat yang
dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat
dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari
kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya
matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat
orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali
tongkat itu, "Jangan menangis, ini tongkatmu
kukembalikan."
"Bukan tongkat ini yang kutangisi," Ujar lelaki itu
sembari memperlihatkan beberapa batang rumput
di telapak tangannya. "Lihatlah ! Aku telah berbuat
dosa, berbuat kesiasiaan. Rumput ini tercabut ketika
aku aku jatuh tersungkur tadi."
"Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa
berdosa ?" Tanya Raden Said heran.
"Ya, memang berdosa ! Karena kau mencabutnya
tanpa suatu keperluan. Andaikata guna makanan
ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-
siaan benar-benar suatu dosa !" Jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang
mengandung nilai iman itu.
"Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di
hutan ini ?"
"Saya mengintai harta ?"
"Untuk apa ?"
"Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk
yang menderita."
"Hemm, sungguh mulia hatimu, sayang...... caramu
mendapatkannya yang keliru."
"Orang tua.......... apa maksudmu ?"
"Boleh aku bertanya anak muda ?"
"Silahkan.......... "
"Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air
kencing, apakah tindakanmu itu benar ?"
"Sungguh perbuatan bodoh," sahut Raden Said.
"Hanya manambah kotor dan bau pakaian itu saja."
Lelaki itu tersenyum, "Demikian pula amal yang kau
lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang di
dapat secara haram, merampok atau mencuri, itu
sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing."
Raden Said tercekat.
Lelaki itu melanjutkan ucapannya, "Allah itu adalah
zat yang baik, hanya menerima amal dari barang
yang baik atau halal."Raden Said makin tercengang
mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai
menghujam tubuh hatinya. Betapa keliru
perbuatannya selama ini. Di pandangnya sekali lagi
wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan
berwibawa namun mencerminkan pribadi yang
welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki
berjubah putih itu.
"Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas
kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini.
Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi
para penduduk miskin bantuan makan dan uang.
Kau harus memperingatkan para penguasa yang
zalim agar mau merubah caranya memerintah yang
sewenang-wenang, kau juga harus dapat
membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf
kehidupannya !"
Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah
yang didambakannya selama ini.
"Kalau kau tak mau kerja keras, dan hanya ingin
beramal dengan cara yang mudah maka ambillah
itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu !"
Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang
pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi
emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said
terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti,
banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya.
Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya.
Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir,
kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia
pasti dapat mengatasinya.
Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren
itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang itu
tidak mempergunakan sihir
Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia
mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar
berubah menjadi emas seluruhnya.Ia ingin
mengambil buah aren yang telah berubah menjadi
emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu
rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said.
Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan
pingsan.
Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah
berubah lagi menjadi hijau seperti arenaren lainnya.
Raden Said bangkit berdiri, mencari orang berjubah
putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di
tempat.
"Pasti dia seorang sakti yang berilmu tinggi. Menilik
caranya berpakaian tentulah dari golongan para
ulama atau mungkin salah seorang dari Waliullah,
aku harus menyusulnya, aku akan berguru
kepadanya," demikian pikir Raden Said.
Raden Said mengejar orang itu. Segenap
kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat,
akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari
kejauhan. Seperti santai saja orang itu
melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah
bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan
berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras
habis dia baru sampai di belakang lelaki berjubah
putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena
kehadiran Raden Said melainkan di depannya
terbentang sungai yang cukup lebar.Tak ada
jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam, dengan
apa dia harus menyeberang.
"Tunggu.......... " ucap Raden Said ketika melihat
orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
"Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid...... "
Pintanya.
"Menjadi muridku ?" Tanya orang itu sembari
menoleh. "Mau belajar apa ?"
"Apa saja, asal Tuan menerima saya sebagai
murid......"
"Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau
menerima syarat-syaratnya ?"
"Saya bersedia...... "
Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi
sungai. Raden Said diperintahkan menungguinya.
Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki
itu kembali menemuinya.
Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai.
Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki
itu berjalan di atas air bagaikan berjalan didaratan
saja. Kakinya tidak basah terkena air.
Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said,
pemuda itu duduk bersila, dia berdo'a kepada
Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di
goa Kahfi ratusan tahun silam. Do'anya dikabulkan.
Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga
tahun. Akar dan rerumputan telah membalut dan
hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang
menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa
dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan
adzan, pemuda itu membuka sepasang matanya.
Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru
yang bersih. Kemudian dibawa ke Tuban.Mengapa
ke Tuban ? Karena lelaki berjubah putih itu adalah
Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi
pelajaran agama sesuai dengan tingkatnya, yaitu
tingkat para Waliullah. Di kemudian hari Raden Said
terkenal sebagai Sunan Kalijaga. Kalijaga artinya
orang yang menjaga sungai.
Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah
penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa
itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan
ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam
yang benar. Ada juga yang mengartikan legenda
pertemuan Raden Said deng an Sunan Bonang
hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan
Bonang pergi selalu membawa tongkat atau
pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu
membawa agama, membawa iman sebagai
penunjuk jalan kehidupan.
Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat
atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said
diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat
Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan
dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu
dan Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai
tanpa ambles ke dalam sungai.
Bahkan sedikitpun ia tidak terkena percikan air
sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul
dengan dengan masyarakat yang berbeda agama
tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh
Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.
Raden Said sewaktu bertapa ditepi tubuhnya tidak
sampai hanyut ke aliran sungai, hanya daun, akar
dan rerumputan yang menutupi sebagian besar
anggota tubuhnya. Itu artinya Raden Said bergaul
dengan masyarakat Jawa, adat istiadat masyarakat
di pakai sebagai alat dakwah, dan diarahkan
kepada ajaran Islam yang bersih, namun usaha itu
tampaknya sedikit mengotori tubuh Raden Said dan
setelah tiga tahun Sunan Bonang membersihkannya
dengan ajaran-ajaran Islam tingkat tinggi sehingga
Raden Said masuk kegolongan para Wali. Dan
pengetahuan agamanya benar-benar telah cukup
untuk dipergunakan menyebarkan agama Islam.
Demikian sehingga tafsiran dari kisah legenda
pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang.
3. KERINDUAN SEORANG IBU.
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua
anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti
kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha
Adipati Tuban menangkap para perampok yang
mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati
ibu Raden Said seketika berguncang. Kebetulan saat
ditangkap oleh para prajurit Tuban, perampok itu
mengenakan pakaian dan topeng yang dikenakan
Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat
terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu
tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak
bersalah.
Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-
benar telah menyesal mengusir anak yang sangat
disayanginya itu. Sang ibu tak pernah tahu bahwa
anak yang didambakannya itu bertahun-tahun
kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja tidak
langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan
ketempat tinggal Sunan Bonang. Untuk mengobati
kerinduan sang ibu. Tidak jarang Raden Said
mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca
Qur'an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke
istana Tuban.
Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar
menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten.
Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan
istrinya. Tapi Raden Said, masih belum
menampakkan diri. Banyak tugas yang masih
dikerjakannya. Di antaranya menemukan adiknya
kembali. Pada akhirnya, dia kembali bersama
adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan
betapa bahagianya Adipati Tuban dan istrinya
menerima kedatangan putra-putri yang sangat
dicintainya itu.
Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan
Adipati Tuban. Dia lebih suka menjalani kehidupan
yang dipilihnya sendiri. Walau sedikit kecewa
Adipati Tuban agak terhibur, sebab suami Dewi
Rasawulan juga bukan orang sembarangan. Empu
Supa adalah seorang Tumenggung Majapahit yang
terkenal. Cucu yang lahir dari keturunan Empu.
Akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan
kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan
dan Empu Supa.
Raden Said meneruskan pengembaraannya.
Berdakwah atau menyebarkan agama Islam di Jawa
tengah hingga ke Jawa Barat. Dalam usia lanjut
beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggal nya
yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan
di Kadilangu, Demak.
4. JASA SUNAN KALIJAGA.
Jasa Sunan Kalijaga sangat sukar dihitung karena
banyaknya. Beliau dikenal sebagai Mubaligh, ahli
seni, budayawan, ahli filsafat, sebagai Dalang
Wayang Kulit dan sebagainya. Untul lebih detailnya
para pembaca dipersilahkan membaca literatur
berjudul Sunan Kalijaga yang ditulis oleh saudara
Umar Hayim, diterbitkan oleh Menara Kudus.
Di dalam buku tersebut diuraikan dengan lengkap
jasa dan karya Sunan Kalijaga.
Di dalam buku ini kami nukilkan sebagian kecil dari
karya dan jasa Sunan Kalijaga.
A. SEBAGAI MUBALIGH.
Beliau dikenal sebagai ulama besar, seorang Wali
yang memiliki karisma tersendiri diantara Wali-Wali
lainnya. Dan paling terkenal di kalangan atas
maupun dari kalangan bawah. Hal itu disebabkan
Sunan Kalijaga suka berkeliling dalam berdakwah,
sehingga beliau juga dikenal sebagai Syekh Malaya
yaitu mubaligh yang menyiarkan agama Islam
sambil mengembara. Sementara Wali lainnya
mendirikan pesantren atau pedepokan untuk
mengajar murid-muridnya.
Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat Jawa
yang pada waktu itu masih banyak menganut
kepercayaan lama tidak ditentang adat istiadatnya.
Beliau dekati rakyat yang masih awam itu dengan
cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak
memakai jubah sehingga rakyat tidak merasa
angker dan mau menerima kedatangannya dengan
senang hati.
Pakaian yang dikenakan sehari-hari adalah pakaian
adat Jawa yang di disain dan disempurnakan sendiri
secara Islami. Adat istiadat rakyat, yang dalam
pandangan Kaum Putihan dianggap bid'ah tidal
langsung ditentang olehnya selaku Pemimpin Kaum
Abangan. Pendiriannya adalah rakyat dibuat senang
dulu, direbut simpatinya sehingga mau menerima
agama Islam, mau mendekat pada para Wali.
Sesudah itu barulah mereka diberi pengertian Islam
yang sesungguhnya dan dianjurkan membuang adat
yang bertentangan dengan agama Islam.
Kesenian rakyat baik yang berupa gamelan, gencing
dan tembang-tembang dan wayang dimanfaatkan
sebesar-besarnya sebagai alat dakwah. Dan ini
ternyata membawa keberhasilan yang gemilang,
hampir seluruh rakyat Jawa pada waktu itu dapat
menerima ajakan Sunan Kalijaga untuk mengenal
agama Islam.
B. SUNAN KALIJAGA SEBAGAI AHLI BUDAYA.
Gelar tersebut tidak berlebihan karena beliaulah
yang pertama kali menciptakan seni pakaian, seni
suara, seni ukir, seni gamelan, wayang kulit, bedug
di mesjid, Gerebeg Maulud, seni Tata Kota dan lain-
lain.
a. Seni Pakaian :
Beliau yang pertama kali menciptakan baju taqwa.
Baju taqwa ini pada akhirnya disempurnaka oleh
Sultan Agung dengan dester nyamping dan keris
serta rangkaian lainnya. Baju ini masih banyak di
pakai oleh masyarakat Jawa, setidaknya pada
upacara pengantin.
b. Seni Suara :
Sunan Kalijagalah yang pertama kali menciptakan
tembang Dandang Gula dan Dandang Gula
Semarangan.
c. Seni Ukir :
Beliau pencipta seni ukir bermotif dedaunan, bentuk
gayor atau alat menggantungkan gamelan dan
bentuk ornamentik lainnya yang sekarang dianggap
seni ukir Nasional.
Sebelum era Sunan Kalijaga kebanyakan seni ukir
bermotifkan manusia dan binatang.
d. Bedug atau Jidor di Mesjid :
Beliaulah yang pertama kali mempunyai ide
menciptakan Bedug di masjid, yaitu memerintahkan
muridnya yang bernama Sunan Bajat untuk
membuat Bedug di masjid Semarang guna
memanggil orang untuk pergi mengerjakan shalat
jama'ah.
e. Gerebeg Maulud :
Ini adalah acara ritual yang diprakarsai Sunan
Kalijaga, asalnya adalah tabliqh atau mengajian
akbar yang diselenggarakan para wali di Masjid
Demak untuk memperingati Maulud Nabi.
f. Gong Sekaten :
Adalah gong ciptaan Sunan Kalijaga yang nama
aslinya adalah Gong Syahadatain yaitu dua kalimah
Syahadat. Bila gong itu dipukul akan berbunyi
bermakna :di sana di situ, mumpung masih hidup,
berkumpullah untuk masuk agama Islam.
g. Pencipta Wayang Kulit :
Pada jaman sebelum Sunan Kalijaga, wayang
bentuknya adalah sebagai berikut;
Adegan demi adegan wayang tersebut digambar
pada sebuah kertas dengan gambar ujud
manusia.Dan ini diharamkan oleh Sunan Giri. Karena
diharamkan oleh Sunan Giri, Suna Kalijaga membuat
kreasi baru, bentuk wayang dirubah sedemikian
rupa, dan digambar atau di ukir pada sebuah kulit
kambing, satu lukisan adalah satu wayang, sedang
di jaman sebelumnya satu lukisan adalah satu
adegan. Gambar yang ditampilkan oleh Sunan
Kalijaga tidak bisa disebut gambar manusia, mirip
karikatur bercita rasa tinggi. Diseluruh dunia hanya
di Jawa inilah ada bentuk wayang seperti yang kita
lihat sekarang.Itulah ciptaan Sunan Kalijaga.
h. Sebagai Dalang :
Bukan hanya pencipta wayang saja, Sunan Kalijaga
juga pandai mendalang. Sesudah peresmian Masjid
Demak dengan shalat Jum'ah, beliaulah yang
mendalang bagi pagelaran wayang kulit yang
diperuntukkan menghibur dan berdakwah kepada
rakyat.
Lakon yang dibawakan seringkali ciptaannya sendiri,
seperti ; Jimat Kalimasada, Dewi Ruci, Petruk Jadi
Raja, Wahyu Widayat dan lain-lain.
Dalang dari kata "dalla" artinya menunjukkan jalan
yang benar.
i. Ahli Tata Kota :
Baik di Jawa maupun Madura seni bangunan Tata
Kota yang dimiliki biasanya selalu sama.Sebab Jawa
dan Madura mayoritas penduduknya adalah Islam.
Para penguasanya kebanyakan meniru cara Sunan
Kalijaga dalam membangun Tata Kota.
Tehnik bangunan Kabupaten atau Kota Praja
biasanya terdiridari :
1. Istana atau Kabupaten
2. Alun-alun
3. Satu atau dua pohon beringin
4. Masjid
Letaknya juga sangat teratur, bukan
sembarangan.Alun-alun ;berasal dari kata "Allaun"
artinya banyak macam atau warna. Diucapkan dua
kali "Allaun-allaun" yang maksudnya menunjukkan
tempat bersama ratanya segenap rakyat dan
penguasa di pusatkota.
Waringin : dari kata "Waraa'in artinya orang yang
sangat berhati-hati. Orang-orang yang berkumpul
di alun-alun itu sangat hati-hati memelihara dirinya
dan menjaga segala hukum atau undang-undang,
baik undang-undang negara atau undang-undang
agama yang dilambangkan dengan dua pohon
beringin yaitu Al-Qur'an dan hadits Nabi. Alun-alun
biasanya berbentuk segi empat hal ini dimaksudkan
agar dalam menjalankan ibadah seseorang itu harus
berpedoman lengkap yaitu syariat, hadiqat dan
tariqat dan ma'rifat. Jadi tidak dibenarkan hanya
mempercayai yang hakikat saja tanpa mengamalkan
syariat agama Islam.
Untuk itu disediakan Masjid sebagai pusat kegiatan
ibadah.
Letak istana atau kantor kabupaten : letak istana
atau pendapat kabupaten biasanya berhadapan
dengan alun-alun dan pohon beringin. Letak istana
atau kabupaten itu biasanya menghadap ke laut dan
membelakangi gunung. Ini artinya para penguasa
harus menjauhi kesombongan, sedang menghadap
ke laut artinya penguasa itu hendaknya berhati
pemurah dan pemaaf seperti luasnya laut. Sedang
alun-a lun dan pohon beringin yang berhadapan
dengan istana atau kabupaten artinya penguasa
harus selalu mengawasi jalannya undang-undang
dan rakyatnya.

KISAH SUNAN GUNUNG JATI

KISAH SUNAN GUNUNG JATI

1. ASAL USUL.
Sebelum era Sunan Gunung Jati berdakwah di Jawa
Barat. Ada seorang ulama besar dari Bagdad telah
datang di daerah Cirebon bersama duapuluh dua
orang muridnya. Ulama besar itu bernama Syekh
Kahfi. Ulama inilah yang lebih dahulu menyiarkan
agama Islam di sekitar daerah Cirebon.
Al-Kisah, putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran
bernama Pangeran Walangsungsang dan adiknya
Rara Santang pada suatu malam mendapat mimpi
yangsama.Mimpi itu terulang hingga tiga kali yaitu
bertemu dengan Nabi Muhammad yang
mengajarkan agama Islam.
Wajah Nabi Muhammad yang agung dan caranya
menerangkan Islam demikian mempersona
membuat kedua anak muda itu merasa rindu.Tapi
mimpi itu hanya terjadi tiga kali.
Seperti orang kehausan, kedua anak muda itu
mereguk air lebih banyak lagi, air yang akan
menyejukkan jiwanya itu agama Islam. Kebetulan
mereka telah mendengar adanya Syekh Dzatul Kahfi
atau lebih muda disebut Syekh Datuk Kahfi yang
membuka perguruan Islam di Cirebon. Mereka
mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi
untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, mereka
ingin memperdalam agama Islam seperti ajaran
Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka
ditolak oleh Prabu Siliwangi.
Pangeran Walangsungsang dan adiknya nekad,
keduanya melarikan diri dari istana dan pergi
berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati.
Setelah berguru beberapa lama di Gunung Jati,
Pangeran Walangsungsang diperintahkan oleh
Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan di bagian
selatan Gunung Jati. Pangeran Walangsungsang
adalah seorang pemuda sakti, tugas itu
diselesaikannya hanya dalam beberapa hari. Daerah
itu dijadikan pendukuhan yang makin hari banyak
orang berdatangan menetap dan menjadi pengikut
Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah itu ramai
Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala
Dukuh dengan gelar Cakrabuana. Daerahnya
dinamakan Tegal Alang-alang.
Orang yang menetap di Tegal Alang-alang terdiri
dari berbagai rasa atau keturunan, banyak pula
pedagang asing yang menjadi penduduk tersebut,
sehingga terjadilah pembauran dari berbagai ras
dan pencampuran itu dalam bahasa Sunda disebut
Caruban.Maka Legal Alang-alang disebut Caruban.
Sebagian besar rakyat Caruban mata pencariannya
adalah mencari udang kemudian dibuatnya menjadi
petis yang terkenal.
Dalam bahasa Sunda Petis dari air udang itu, Cai
Rebon. Daerah Carubanpun kemudian lebih dikenal
sebagai Cirebon hingga sekarang ini. Setelah
dianggap memenuhi syarat, Pangeran Cakrabuana
dan Rarasantang di perintah Datuk Kahfi untuk
melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Di Kota
Suci Mekkah, kedua kakak beradik itu tinggal di
rumah seorang ulama besar bernama Syekh
Bayanillah sambil menambah pengetahuan agama.
Sewaktu mengerjakan tawaf mengelilingi Ka'bah
kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang
Raja Mesir bernama Sultan Syarif Abdullah yang
sama-sama menjalani Ibadah haji. Raja Mesir itu
tertarik pada wajah Rarasantang yang mirip
mendiang istrinya.
Sesudah ibadah haji diselesaikan Raja Mesir itu
melamar Rarasantang pada Syekh Bayanillah.
Rarasantang dan Pangeran Cakrabuana tidak
keberatan. Maka dilangsungkanlah pernikahan
dengan cara Mazhab Syafi'i. Nama Rarasantang
kemudian diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari
perkawinan itu lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif
Nurullah.
Pangeran Cakrabuana sempat tinggal di Mesir
selama tiga tahun. Kemudian pulang ke Jawa dan
mendirikan Negeri Caruban Larang. Negeri Caruban
Larang adalah perluasan dari daerah Caruban atau
Cirebon, pola pemerintahannya menggunakan azas
Islami. Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan
putri Pangeran Cakrabuana yaitu Pakungwati.
Dalam waktu singkat Negeri Caruban Larang telah
terkenal ke seluruh Tanah Jawa, terdengar pula
oleh Prabu Siliwangi selaku penguasa daerah Jawa
Barat. Setelah mengetahui negeri baru tersebut
dipimpin putranya sendiri, maka sang Raja tidak
keberatan walau hatinya kurang berkenan. Sang
Prabu akhirnya juga merestui tampuk pemerintahan
putranya, bahkan sang Prabu memberinya gelar Sri
Manggana.
Sementara itu dalam usia muda Syarif Hidayatullah
ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk
menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir,
tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun
itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke
tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan
ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya
yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah
berguru kepada beberapa ulama besar didaratan
Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah
sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah
leluhurnya yaitu Jawa, ia tidak merasa kesulitan
melakukan dakwah.
2. PERJUANGAN SUNAN GUNUNG JATI.
Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah
dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan
Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan
Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar
adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja
Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di
Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan
Gunungjati.
Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai
yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan
Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis.
Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati
adalah makam dekat Sultan Gunungjati yang ada
tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau
Faletehan menurut lidah orang Portugis. Syarif
Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda'im datang di
negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475
sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk
menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut
gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan
keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru
Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda'im itu
dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar
selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah
Muda'im minta agar diijinkan tinggal di
Pasambangan atau Gunungjati.
Syarifah Muda'im dan putranya yaitu Syarif
Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi
membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga
kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal
dengan sebutan Sunan Gunungjati.
Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana
menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan
Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun
1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran
Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri
Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar
Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi.
Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya
Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk
mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang
Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau.
Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia
tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam
di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian
melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk
Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan
banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang
sering singgah ke tempat itu.
Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh
adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah
dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang
bernama Nyi Kawungten.
Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah
di karuniai dua orang putra yaitu Nyi Ratu Winaon
dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan
agama islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau
sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali
lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau
juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari
pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali
lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan
Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan
diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon
tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang
biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan
oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa
yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka
dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang
dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah
menangkap Syarif Hidayatullah yang dianggap
lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan
Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya
dan anak buahnya malah tidak kembali ke
Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi
pengikut Syarif Hidayayullah.
Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan
ke Cirebon maka makin bertambah besarlah
pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah
lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga
dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah
Kasultanan Cirebon.
Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara
Jati, makin bertambah besarlah pengaruh
Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari
negeri asing datang menjalin persahabatan.
Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang
keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar
dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu
Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri
Cina makin erat.
Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke
negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina
yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang
pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam.
Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin
erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina,
hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk
dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong
Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara
Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini
membekali putranya dengan harta benda yang tidak
sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan
putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu
sampai sekarang masih ada dan tersimpan di
tempat yang aman.
Istana dan Masjid Cireb as pengembangan Islam di
seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa
menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon
yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran
sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa
Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan
kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa
yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku
penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang
mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu
Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran
Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka.
Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan
Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur
mendirikan benteng yang kuat di Malaka.
Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang
pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut
berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi
bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau
ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Raden Patah wafat pada tahun 1518,
berkedudukannya digantikan oleh Adipati Unus atau
Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan
muncullah pemberontakan pemberontakan dari
daerah pedalaman, didalam usaha memadamkan
pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor
meninggal dunia, gugur sebagai pejuang sahid.
Pada tahun 1521 Sultan Demak di pegang oleh Raden
Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam
pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah
diangkat sebagai Panglima Perang yang akan
ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa.
Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan
Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat
senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang
dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan
Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa
yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran.
Mengapa Pajajaran membantu Portugis ? Karena
Pajajaran merasa iri dan dendam pada
perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas,
ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu
merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon
maka Raja Pajajaran menyetujuinya.
Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu
tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ? Karena
Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang
melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya
Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman
adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya
bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik
lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia
dapat memberi komando dengan tepat dan setiap
serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil
gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah,
Portugis kembali ke Malaka, sedangkan Pajajaran
cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya
Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari
gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa
pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui
kesulitan karena Fatahillah dibantu putra Sunan
Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking.
Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi
penguasa Banten dengan gelar Pangeran
Hasanuddin.
Fatahillah kemudian diangkat segenap Adipati di
Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa
menjadi Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku
Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk
meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata
di Jawa Barat.
Berturut-turut Fatahillah dapat menaklukkan daerah
TALAGA sebuah negara kecil yang dikuasai raja
Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian
kerajaan Galuh yang hendak meneruskan
kebesaran Pajajaran lama.Raja Galuh ini bernama
Prabu Cakraningrat dengan senopatinya yang
terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat
membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan
senopatinya tewas dalam peperangan itu.
Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih
Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil
ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati
menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu.
Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati
Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus
Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin
tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran
Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua
dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah
yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai
Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang
Sultan.
Sunan Gunung Jati lebih memusatkan diri pada
penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau
Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak
pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad
Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya.
Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada
Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan
Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di
Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap
digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya
bergelar Adipati.Yaitu Adipati Carbon I. Adpati
Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang
diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunung
Jati.
Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria
Kamuning.
Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam
usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran
Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung
Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai
Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang
sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa
diperantarai apapun juga. Demikianlah riwayat
perjuangan Sunan Gunungjati.

KISAH SUNAN GRESIK

KISAH SUNAN GRESIK

Matahari baru saja tenggelam di Desa Tanggulangin,
Gresik, Jawa Timur. Rembulan dan bintang giliran
menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk
desa tampak ceria menyambut cuaca malam itu.
Sebagian mereka berbincang santai di beranda,
duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar
suara gemuruh. Makin lama makin riuh.
Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di
perbatasan desa terlihat gerombolan pasukan
berkuda --berjumlah sekitar 20 orang. Warga
Tanggulangin berebut menyelamatkan diri --
bergegas masuk ke rumahnya masing-masing.
Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk
Penjalin. Ia berperawakan tinggi, kekar, dengan
wajah bercambang bauk.
''Serahkan harta kalian,'' sergah Penjalin, jawara
yang tak asing di kawasan itu. ''Kalau menolak,
akan kubakar desa ini.'' Tak satu pun penduduk
yang sanggup menghadapi. Mereka memilih
menyelamatkan diri, daripada ''ditekuk-tekuk'' oleh
Penjalin. Merasa tak digubris, kawanan itu siap
menghanguskan Tanggulangin.
Obor-obor hendak dilemparkan ke atap rumah-
rumah penduduk. Tetapi, mendadak niat itu terhenti.
Sekelompok manusia lain, berpakaian putih-putih,
tiba-tiba muncul entah dari mana. Rombongan ini
dipimpin Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama
terkenal yang mulai meluaskan pengaruhnya di
wilayah Gresik dan sekitarnya.
Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke depan.
Dengan sopan ia mengingatkan kelakuan tak terpuji
Penjalin. Penjalin tentu tak terima. Apalagi, orang
yang mengingatkannya sama sekali tak dikenal di
rimba persilatan Gresik. Dalam waktu singkat,
terjadilah pertarungan seru. Penduduk Tanggulangin,
yang melihat pertempuran itu, rame-rame keluar,
lalu membantu Ghafur.
Akhirnya, Penjalin dan pasukannya kocar-kacir.
Tapi, Penjalin tak mau menuruti perintah Ghafur
agar membubarkan anak buahnya. Ghafur tak
punya pilihan lain, ia harus membunuh Penjalin.
Baru saja tiba pada keputusan itu, tiba-tiba
wajahnya diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali.
Aneh, di puncak kemarahan itu, ia malah melangkah
surut.
Penjalin terperangah. ''Mengapa tak jadi membunuh
aku?'' ia bertanya. Ghafur menjawab, ''Karena kamu
telah membuatku marah, dan aku tak boleh
menghukum orang dalam keadaan marah.''
Mendengar ''dakwah'' ini, disusul oleh perbincangan
singkat, Penjalin dan gerombolannya menyatakan
tertarik memeluk agama Islam.
Petikan di atas merupakan satu dari dua kisah
populer tentang perjalanan dakwah Syekh Maulana
Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Sunan
Gresik. Satu cerita lagi yang kerap ditulis pengarang
buku-buku Maulana Malik Ibrahim adalah
pertemuannya dengan sekawanan kafir di tengah
padang pasir.
Ketika itu, mereka hendak menjadikan seorang
gadis sebagai tumbal meminta hujan kepada dewa.
Pedang sudah dihunus. Sunan Gresik mendinginkan
mereka dengan pembicaraan yang lembut,
kemudian memimpin salat Istisqa' --untuk
memohon hujan. Tak lama kemudian langit
mencurahkan butir-butir air, Kawanan kafir itu
memeluk agama Islam.
Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim
disebut-sebut sebagai wali paling senior, alias wali
pertama. Ada sejumlah versi tentang asal usul Syekh
Magribi, sebutan lain Sunan Gresik itu. Ada yang
mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan
Gujarat (India). Sumber lain menyebutkan ia lahir di
Campa (Kamboja).
Setelah cukup dewasa, Maulana Malik Ibrahim
diminta ayahnya, Barebat Zainul Alam, agar
merantau, berdakwah ke negeri selatan. Maka,
bersama 40 anggota rombongan yang
menyertainya, Malik mengarungi samudra berhari-
hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu, Gresik,
pada 1380 M. Mengenai tahun ''pendaratan'' ini pun
terdapat beberapa versi.
Buku pegangan juru kunci makam Maulana Malik
Ibrahim, misalnya, mencantumkan tahun 1392.
Beberapa naskah lain bahkan menyebut tahun
1404. Rombongan Malik kemudian menetap di Desa
Leran, sekitar sembilan kilometer di barat kota
Gresik. Ketika itu, Gresik berada di bawah Kerajaan
Majapahit.
Dari sinilah Malik mulai meluncurkan dakwahnya,
dengan gaya menjauhi konfrontasi. Sebagian besar
masyarakat setempat ketika itu menganut Hindu,
''agama resmi'' Kerajaan Majapahit. Sunan
melalukan sesuatu yang sangat sederhana:
membuka warung. Ia menjual rupa-rupa makanan
dengan harga murah.
Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi
orang. Malik melangkah ke tahap berikutnya:
membuka praktek sebagai tabib. Dengan doa-doa
yang diambil dari Al-Quran, ia terbukti mampu
menyembuhkan penyakit. Sunan Gresik pun seakan
menjelma menjadi ''dewa penolong''. Apalagi, ia tak
pernah mau dibayar.
Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu, Sunan
Gresik cepat dikenal, karena ia sanggup menerobos
sekat-sekat kasta. Ia memperlakukan semua orang
sama sederajat. Berangsur-angsur, jumlah
pengikutnya terus bertambah. Setelah jumlah
mereka makin banyak, Sunan Gresik mendirikan
masjid.
Ia juga merasa perlu membangun bilik-bilik tempat
menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah
yang kemudian dikenal dengan nama pesantren.
Dalam mengajarkan ilmunya, Malik punya
kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab
hadis di atas bantal. Karena itu ia kemudian dijuluki
''Kakek Bantal''.
Kendati pengikutnya terus bertambah, Malik merasa
belum puas sebelum berhasil mengislamkan Raja
Majapahit. Ia paham betul, tradisi Jawa sarat
dengan kultur ''patron-client''. Rakyat akan selalu
merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Karena
itu, mengislamkan raja merupakan pekerjaan yang
sangat strategis.
Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung berdakwah
ke raja, pasti tak akan digubris, karena posisinya
lebih rendah. Karena itu ia meminta bantuan
sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain. Konon,
Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Tetapi J.
Wolbers, dalam bukunya Geschiedenis van Java,
menyebut Cermain tak lain adalah Kerajaan Gedah,
alias Kedah, di Malasyia.
Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya,
Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal. Dewi
yang berwajah elok itu akan dipersembahkan
kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabang-
cabanglah cerita mengenai ''Raja Majapahit'' itu..
Ada yang menyebut raja itu Prabu Brawijaya V.
Tetapi menurut Wolbers, raja tersebut adalah
Angkawijaya.
Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam bukunya,
Riwayat Maulana Malik Ibrahim, nama Angkawijaya
tidak dikenal, baik dalam Babad Tanah Jawi
maupun Pararaton. Nama Angkawijaya tercantum
dalam Serat Kanda. Di situ disebutkan, dia adalah
pengganti Mertawijaya, alias Damarwulan --suami
Kencana Wungu.
Angkawijaya mempunyai selir bernama Ni Raseksi.
Tetapi, kalau dicocokkan dengan Babad Tanah Jawi,
raja Majapahit yang mempunyai selir Ni Raseksi
adalah Prabu Brawijaya VII. Cuma, menurut catatan
sejarah, Prabu Brawijaya VII memerintah pada
1498-1518. Periode ini jadi ''bentrokan'' dengan
masa hidup Maulana Malik Ibrahim.
Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja yang
dimaksud adalah Hyang Wisesa, alias
Wikramawardhana, yang memerintah pada
1389-1427. Terlepas dari siapa sang raja
sebenarnya, yang jelas penguasa Majapahit itu
akhirnya bersedia menemui rombongan Raja
Cermain. Sayang, usaha mereka gagal total.
Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari, tetapi
menolak masuk Islam. ''Bargaining'' seperti ini tentu
diotolak rombongan Cermain. Sebelum pulang ke
negerinya, rombongan Cermain singgah di Leran.
Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka
menetap di rumah Sunan Gresik.
Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba merajalelalah
wabah penyakit. Banyak anggota rombongan
Cermain yang tertular, bahkan meninggal. Termasuk
Dewi Sari. Raja Cermain dan sebagian kecil
pengawalnya akhirnya bisa pulang ke negeri
mereka. Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan
kegagalan ''misi'' itu. Ia terus melanjutkan
dakwahnya hingga wafat, pada 1419.

KISAH SUNAN GIRI

KISAH SUNAN GIRI

SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah
gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT,
ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening
malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak,
kembali terngiang: ''Kelak, bila tiba masanya,
dirikanlah pesantren di Gresik.'' Pesan yang tak
terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis
dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai
bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di
sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia
kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula
Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam
bahasa Sansekerta, ''giri'' berarti gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan
kebesaran Pesantren Giri --yang berkembang
menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga
bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu
hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer
dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah
langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid,
tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada
juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1
x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung.
''Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,''
kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam
Sunan Giri, kepada GATRA.
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru
Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok,
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad
Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran
sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren
Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih,
karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas
Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat,
yang dianggapnya merusak kemurnian Islam.
Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin
kaum ''putihan'', aliran yang didukung Sunan Ampel
dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap
cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan
Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan
pendekatan kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat
sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan
Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para
wali ini sempat memuncak pada peresmian Masjid
Demak. ''Aliran Tuban'' --Sunan Kalijaga cs--ingin
meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi,
menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap
haram, karena gambar wayang itu berbentuk
manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia
mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis
dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang
beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan
Ampel, ''ketua'' para wali, wafat pada 1478, Sunan
Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan
Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9
Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari
jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan
Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli
politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun
peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di
keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan
rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai
kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan
Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri.
Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas
sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu,
dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah
kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah
sejarah Through Account of Ambon, serta berita
orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku.
Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri
disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma,
atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak
pun, peran Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang
Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478,
Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan.
Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan
tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada
Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya
Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan
dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa.
Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja
di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri
lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan
pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga
tidak jelas batas wilayahnya.
Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah
ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari
Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya
Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan
bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri
bermula ketika Maulana Ishak tertarik mengunjungi
Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama
Islam.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih
sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah
Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan
sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja
Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit.
Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.
Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa
yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki
akan dijodohkan dengannya, bila perempuan
dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada
seorang pun yang sanggup memenangkan
sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu
mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa
sakti.
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan
seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya.
Resi inilah yang memberi ''referensi'' tentang Syekh
Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau
mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak
Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam.
Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana
Ishak pun dipenuhi.
Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam.
Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan
Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu
tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia
malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil
mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia
berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan
mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh
Maulana Ishak.
Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya
meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai.
Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada
Dewi Sekardadu --yang sedang mengandung tujuh
bulan-- agar anaknya diberi nama Raden Paku.
Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak
Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak
Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam
sebuah peti.
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal
dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali.
Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih,
pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang
kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan
dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko
Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel,
untuk belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar
''Maulana `Ainul Yaqin''. Setelah bertahun-tahun
belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden
Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel
untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus
singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh
Maulana Ishak.
Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan
Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah
belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali
ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali
Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu
memintanya mendirikan pesantren di sebuah
tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan
yang diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada.
Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas.
Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti
para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506
Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di
Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik,
Jawa Timur.

KISAH SUNAN DRAJAT

KISAH SUNAN DRAJAT

Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang
punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal
sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih
banyak nama lain yang disandangnya di berbagai
naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan
Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam,
Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran
Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.
Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan
dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati.
Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan
Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri,
Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan
seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan
halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang
mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa
kanak dan remajanya di kampung halamannya di
Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia
diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk
berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke
Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak
berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya,
dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah
perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah
dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah
barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan
berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia
ditolong ikan cucut dan ikan talang --ada juga yang
menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim
berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian
dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati.
Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar
1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik
oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu
dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh
pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di
sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim
kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan
Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak,
Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan
akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan
penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil,
lambat laun berkembang menjadi kampung besar
yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar.
Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan,
sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang
lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim
hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan
Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap
tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah
Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak,
penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan
baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa
hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai
daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang
marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka
meneror penduduk pada malam hari, dan
menyebarkan penyakit. Namun, berkat
kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi.
Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat
bersama para pengikutnya membangun
permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat
menempati sisi perbukitan selatan, yang kini
menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai
Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh
di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang
menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran
Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem
Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini
dibangun sebuah museum tempat menyimpan
barang-barang peninggalan Sunan Drajat --
termasuk dayung perahu yang dulu pernah
menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat
tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan
dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan
kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para
pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik
melalui perkataan maupun perbuatan. ''Bapang den
simpangi, ana catur mungkur,'' demikian petuahnya.
Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan
yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi
melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep
dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa
memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan
menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian
secara langsung di masjid atau langgar. Kedua,
melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam
menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan
Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur
dengan iringan gending. Terakhir, ia juga
menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat
tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring
teken marang kang kalunyon lan wuta; paring
pangan marang kang kaliren; paring sandang
marang kang kawudan; paring payung kang
kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang
buta; berikan makan kepada yang kelaparan;
berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan
payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan
masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari
perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa
aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus
yang, konon, merajalela selama dan setelah
pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga
berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan
penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
''Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,'' katanya
dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga
yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan
ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para
wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan
kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan
Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia
merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut
wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia
berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu
memancar air bening --yang kemudian menjadi
sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat
disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah
menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa
Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar,
putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi.
Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat
adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati.
Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden
Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji
kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif
Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga
kini, memang ada tradisi ''saling memuridkan''.
Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi
Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia
pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran
Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang
menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi
kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup
makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat,
Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah
masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat.
Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat
mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan
Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau
Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan
anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang
menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah
dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai
empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa
meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak
setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali
Sanga babadipun Para Wali mencatat: ''Duk samana
anglaksanani, mangkat sakulawarga....'' Sewaktu
diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon
berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di
mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah?
Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno
untuk menjawabnya.
Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad,
kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa
Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun
Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di
jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di
bidang kesenian.

KISAH SUNAN BONANG

KISAH SUNAN BONANG

Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan
Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana
Makhdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi
Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah
putri Prabu Kertabumi ada pula yang berkata
bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat
Adipati Tuban yang sudah beragama Islam yaitu
Ario Tejo.
Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap
Mufti atau pemimpin agama se Tanah Jawa,tentu
saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat
tinggi.
Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi
pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha
para Wali itu lebih berat dari pada orang awam.
Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang
besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga
mempersiapkan sebaik mungkin. Disebutkan dari
berbagai literature bahwa Raden Makdum Ibrahim
dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan
pelajaran agama Islam hingga ke Tanah
seberang,yaitu Negeri Pasai. Keduanya menambah
pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau
ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada
para ulama besar yang banyak menetap di Negeri
Pasai.Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari
Bagdad, Mesir, Arab dan Persi atau Iran. Sesudah
belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan
Raden Paku pulang keJawa. Raden Paku kembali ke
Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga
terkenal sebagai Sunan Giri.
Sedang Raden Makdum Ibrahim diperintahkan
Sunan Ampel untuk berdakwah diTuban. Dalam
berdakwa Raden Makdum Ibrahim ini sering
mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik
simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan
yang disebut Bonang.
Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan
dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan
kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu
ditelinga penduduk setempat. Lebih -lebih bila
Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan
alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang
mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga
beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi
para pendengarnya. Setiap Raden Makdum Ibrahim
membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk yang
datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit
dari mereka yang ingin belajar membunyikan
Bonang sekaligus melagukan tembang -tembang
ciptaan Raden Makdum Ibrahim.
Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang
dijalankan penuh kesabaran.Setelah rakyat berhasil
direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran
Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum
Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran
agama Islam.Sehingga tanpa terasa penduduk sudah
mempelajari agama Islam dengan senang hati,
bukan dengan paksaan.
Diantara tembang yang terkenal ialah :
"Tamba ati iku sak warnane,
Maca Qur'an angen-angen sak maknane,
Kaping pindho shalat sunah lakonona,
Kaping telu wong kang saleh kancanana,
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe,
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe,
Sopo wongƩ bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah
nyemba dani.
Artinya :
Obat sakit jiwa ( hati ) itu ada lima jenisnya.
Pertama membaca Al-Qur'an dengan artinya,
Kedua mengerjakan shalat malam ( sunnah
Tahajjud ),
Ketiga sering bersahabat dengan orang saleh
( berilmu ),
Keempat harus sering berprihatin ( berpuasa ),
Kelima sering berdzikir mengingat Allah di waktu
malam,
Siapa saja mampu mengerjakannya, Insya Allah
Tuhan Allah mengabulkan.
Hingga sekarang lagi ini sering dilantunkan para
santri ketika hendak shalat jama'ah, baik di
pedesaan maupun dipesantren. Murid-murid Raden
Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang
berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun
Madura. Karena beliau sering mempergunakan
Bonang dalam berdakwah maka masyarakat
memberinya gelar Sunan Bonang. Beliau juga
menciptakan karya sastra yang disebut Suluk.Hingga
sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap
sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan
dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan
Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas
Leiden, Belanda. (Nederland )
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk
penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut
membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh
masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal sebagai
pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang
memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung sebagai
panglima tentara Islam Demak.
Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula
yang mengangkat Sunan Kudus sebagai panglima
perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada
Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi
Majapahit. Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil
dalam membuat keputusan yang memuaskan
banyak orang, melalui sidang-sidang ''pengadilan''
yang dipimpinnya.
Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti
Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Lokasi
''pengadilan'' itu sendiri punya dua versi. Satu versi
mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung
Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan,
sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung Demak.
Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan
Raden Patah.
Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang
mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya
Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari
Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-
Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran
Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan
disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama:
tasawuf, ussuludin, dan fikih.
Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan
Bonang menjadi penting karena menunjukkan
bagaimana orang Islam menjalani kehidupan
dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada
Allah. Para penganut Islam harus menjalankan,
misalnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat.
Selain itu, manusia harus menjauhi tiga musuh
utama: dunia, hawa nafsu, dan setan.
Untuk menghindari ketiga ''musuh'' itu, manusia
dianjurkan jangan banyak bicara, bersikap rendah
hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas
nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus menjauhi
sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat
dan kehormatan. Menurut Gunning dan Schrieke,
naskah ajaran Sunan Bonang merupakan naskah
Wali Songo yang relatif lebih lengkap.
Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan
kalaupun ada, tak begitu lengkap. Di situ disebutkan
pula bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari
ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana
Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan
Kalijaga, dan Sunan Muria.
Dikisahkan beliau pernah menaklukkan seorang
pemimpin perampok dan anak buahnya hanya
mempergunakan tambang dan gending. Dharma
dan irama Mocopa,t Begitu gending ditabuh
Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu
bergerak, seluruh persendian mereka seperti
dilolosi dari tempatnya. Sehingga gagallah mereka
melaksanakan niat jahatnya.
"Ampun.......... hentikanlah bunyi gamelan itu, kami
tidak kuat !" Demikian rintih Kebondanu dan anak
buahnya.
"Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak
berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati
kalian tidak buruk dan jahat."
"Ya, kami menyerah, kami tobat !Kami tidak akan
melakukan perbuatan jahat lagi, tapi.......... "
Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.
"Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu !" ujar
Sunan Bonang.
"Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami
yang sudah tak terhitung lagi banyaknya," kata
Kebondanu dengan ragu. "Kami sudah sering
merampok, membunuh dan melakukan tindak
kejahatan lainnya."
"Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja," kata
Sunan Bonang. "Allah adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun dan Penerima tobat."
"Walau dosa kami setinggi gunung ?" Tanya
Kebondanu.
"Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak
pasir dilaut."
Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan
menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian
pula anak buahnya. Pada suatu ketika juga ada
seorang Brahmana sakti dari India yang berlayar ke
Tuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan
berdebat tentang masalah keagamaan dengan
Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju
Tuban, perahunya terbalik dihantam badai.
Walaupun ia dan para pengikutnya berhasil
menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang
hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan
Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Di tepi pantai
mereka melihat seorang lelaki berjubah putih
sedang berjalan sembari membawa tongkat.
Mereka menghentikan lelaki itu dan menyapanya.
Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan
menancapkan tongkatnya ke pasir.
"Saya datang dari India hendak mencari seorang
ulama besar bernama Sunan Bonang."kata sang
Brahmana.
"Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang?" tanya
lelaki itu.
"Akan saya ajak berdebat tentang masalah
keagamaan,kata sang Brahmana."Tapi sayang kitab
- kitab yang saya bawa telah tenggelam kedasar
laut."
Tanpa banyak bicara lelaki itu mencabut tongkatnya
yang menancap dipasir,mendadak tersemburlah air
dari lubang tongkat itu, membawa keluar semua
kitab yang dibawa sang Brahmana.
"Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam kedasar
laut?"Tanya lelaki itu.
Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-
kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri.
Berdebarlah hati sang Brahmana sembari
menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah
putih itu.
"Apakah nama daerah tempat saya terdampar
ini?"tanya sang Brahmana
"Tuan berada dipantai Tuban !"jawab lelaki itu.Serta
merta Brahmana dan para pengikutnya
menjatuhkan diri berlutut dihadapan lelaki
itu.Mereka sudah dapat mendiga pastilah lelaki
berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.
Siapalagi orang sakti berilmu tinggi yang berada
dikota Tuban selain Sunan Bonang.Sang Brahmana
tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan
Bonang untuk adu kesaktian dan mendebat masala
Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang
ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan
satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban,
Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari
tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman
dibatasi tembok berpintu gerbang.Adalagi legenda
aneh tentang Sunan Bonang.Sewaktu beliau wafat,
jenasahnya hendak dibawa ke Surabaya untuk
dimakamkan disamping Sunan Ampel yaitu
ayahandanya.Tetapi kapal yang digunakan
mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak
sehingga terpaksa jenazahnya Sunan Bonang
dimakamkan di Tuban yaitu disebelah barat Masjid
Jami 'Tuban.
 
Support : Creating Website | gunturzakaw91 | Ganing Sakewa Azigazuru
Copyright © 2011. Aneka Informasi - All Rights Reserved
Template Created by Sakewa Published by Aneh dan Unik
Proudly powered by Gegesuran Plesetan Umban