Pada umumnya setiap orang tua menginginkan anaknya mempunyai masa depan yang baik, sukses, bermanfaat maksimal bagi masyarakat dan bangsanya; demikian pula halnya dengan guru atau dosen: menginginkan masa depan yang sukses bagi anak didiknya. Berbagai usaha dan bahkan jika perlu juga pengorbanan siap dilakukan untuk mencapai hal tersebut. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang relative cepat serta berbagai factor lainnya, nampaknya secara umum harus diakui bahwa usaha itu terasa semakin sulit. Jika ditahun 60-an masuk ITB praktis tanpa saingan maka di tahun 2000-an persaingan itu luar biasa sengitnya; sebagian orang menganggap bahwa ITB adalah salah satu kunci sukses menuju masa depan. Paling tidak pendidikan yang ditawarkan oleh ITB, pendidikan yang membawa muatan teknologi, masih cukup (walaupun mungkin sudah mulai meluntur?) diminati oleh sejumlah anak muda Indonesia.
Pada mulanya, secara garis besar, teknologi diciptakan untuk meningkatkan kenyamanan hidup manusia (pengecualian mungkin dapat diberikan pada teknologi pertahanan, yang untuk selanjutnya akan dikeluarkan dari pembahasan ini). Hanya teknologi yang memenuhi kriteria kenyamanan ini yang akan mempunyai nilai jual atau nilai ekonomi yang memang diperlukan untuk menopang pengembangannya lebih lanjut. Teknologi haus akan pasar dan ia tidak pernah ragu-ragu untuk menciptakan pasar baru. Oleh karena itu teknologi bersifat mendunia, di mana ada daya beli di situ ada teknologi. Kehadiran teknologi di suatu tempat sering kali lebih cepat dibandingkan kesiapan sosiokultural untuk menyambutnya. Padahal teknologi itu sendiri tercipta melalui proses yang panjang yang melibatkan juga aspek-aspek sosiokultural. Konsekuensinya, kehadiran teknologi tanpa kesiapan sosiokultural dapat menghasilkan suatu disharmoni, sisi negatif teknologi dapat menjadi lebih dominan. Teknologi mempunyai potensi untuk menjadi pedang bermata dua.
Mendidik anak pada dasarnya adalah proses mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan jamannya dan keluar sebagai pemenang (champion) bukan sebagai pecundang (loser). Masa depan yang dekat (bahkan masa itu telah datang di tengah-tengah kita) adalah masa yang berbasis pengetahuan. Dengan bantuan teknologi dapat dikatakan bahwa pengetahuan itu demikian berlimpah ruah (the age of abundance knowledge). Dapat dikatakan dengan kepastian tinggi: siapa saja yang mampu menguasai dan memanfaatkan pengetahuan itu secara maksimal maka dialah yang akan keluar sebagai pemenang, sebagai penguasa jaman. Oleh karena itu, kehadiran teknologi dalam proses kehidupan anak harus difungsikan atau diperankan untuk tujuan penguasaan, pengayaan dan pemanfaatan pengetahuan tersebut. Jadi kehadiran teknologi yang justru akan mengganggu, mengusik, atau mengacaukan proses penguasaan, pengayaan dan pemanfaatan pengetahuan harus dicegah sedini mungkin.
Kehadiran pengetahuan dan teknologi baru yang praktis tanpa henti sesungguhnya juga menciptakan berbagai kesempatan-kesempatan atau peluang-peluang baru. Oleh karena itu tidak berlebihan jika abad ini juga disebut sebagai the age of abundance opportunities. Sudah barang tentu tidak semua orang mampu melihat dan kemudian memanfaatkan berbagai peluang itu. Alih-alih memanfaatkan, pada kenyataannya banyak yang justru menjadi korban, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari kehadiran pengetahuan atau teknologi baru. Dengan demikian menjadi amat penting untuk mengetahui sejumlah syarat minimal agar kita dapat memanfaatkan berlimpahnya berbagai kesempatan atau peluang yang disediakan oleh pengetahuan atau teknologi baru.
Dalam tulisan singkat ini hanya akan disoroti teknologi fenomenal: HP, TV, dan komputer. Berbagai kasus berkenaan dampak kehadiran gadgets dalam kehidupan mahasiswa (ITB) juga akan dikemukakan dan dibahas. Pada akhirnya akan dikemukakan sejumlah karakter, jiwa, pikiran atau pola pikir sebagai syarat minimal agar dapat memanfaatkan kehadiran the age of abundance knowledge and opportunites secara optimal.
RELEVANSI dan POTENSI
Teknologi yang paling relevan dengan tujuan sebagai wahana untuk mengakses, mengolah, menguasai dan memanfaatkan pengetahuan adalah teknologi informasi dan komputer (TIK), termasuk di dalamnya adalah robot dan internet. Oleh karena itu penguasaan teknologi ini sedini mungkin, dengan memperhatikan kesiapan psikologis, akan merupakan salah satu kunci dalam mempersiapkan masa depan yang optimal bagi anak-anak. TIK ini mempunyai potensi yang amat kaya untuk merangsang semua fakultas kecerdasan anak-anak agar dapat berkembang secara maksimal.
Pengetahuan yang disimpan dan kemudian dapat diakses kembali melalui TIK praktis tidak terbatas jumlahnya dan tidak pula dibatasi oleh ruang dan waktu (apalagi hanya sekedar batas-batas negara). Jenis pengetahuan itu tidak hanya berupa teks tetapi juga berupa pemodelan, simulasi, animasi dan hal-hal yang tidak terbayangkan bahkan lima tahun yang lalu. Proses belajar melalui TIK dapat menjadi suatu proses pendidikan yang menyenangkan (joyful learning) dan oleh karenanya dapat mempunyai dampak yang amat kuat pada penguasaan pengetahuan. Dengan bantuan TIK hal-hal yang amat kompleks sekalipun dapat dengan mudah dicerna dan kemudian dipahami bahkan dihayati oleh anak didik. Meskipun demikian perlu digarisbawahi di sini bahwa peran guru tetap tidak tergantikan, TIK hanyalah sekedar suatu perangkat bantu (meskipun sangat ampuh).
KECENDERUNGAN
Teknologi yang akan mampu menciptakan pasar yang bersifat masif, dan oleh karenanya akan selalu mempunyai kekuatan untuk pengembangannya lebih lanjut, salah satunya adalah teknologi yang mempunyai kandungan hiburan (entertainment). Teknologi mutakhir seperti ini yang paling fenomenal (di Indonesia diperkirakan saat ini telah beredar sebanyak 100 juta biji!!) adalah telpon genggam (hand phone: HP). Sedangkan yang telah lebih dahulu hadir, dan sebenarnya juga fenomenal, adalah televisi berwarna dan komputer. Mungkin tidak ada satupun wilayah di Indonesia, yang terpencil sekalipun, tanpa kehadiran salah satu di antara kedua (atau bahkan kedua) jenis teknologi itu: HP dan TV. Di wilayah pedalaman Sumatra, atau Kalimantan dapat ditemui gubuk dengan antena parabola televisi.
Kemajuan teknologi informasi dan komputer telah memungkinkan pengembangan isi (content) yang menyertai produk teknologi seperti HP, TV dan komputer untuk tujuan berupa hiburan menjadi semakin menarik dan adiktif. Fungsi utama semula (misal sekedar untuk telekomunikasi) kalah oleh berbagai fitur tambahan. Bahkan produk teknologi seperti ini juga dapat menjadi pembentuk gaya hidup baru (life style trend setter). Potensi teknologi ini sebagai pengusik proses pendidikan dapat meningkat lebih cepat dibanding potensinya untuk mendukung proses pendidikan anak. Bahwa teknologi ini dapat digunakan untuk tujuan-tujuan pendidikan menghadapi masa depan tentu tidak diragukan lagi. Meskipun demikian potensi destruktifnya tidak juga dapat disepelekan atau bahkan diabaikan begitu saja. Kekawatiran yang cukup beralasan itulah yang telah menyebabkan banyak sekolah-sekolah umum di Amerika Serikat melarang para siswanya membawa HP atau pager ke sekolah sejak tahun 1988!!.
KESADARAN AKAN FUNGSI
Ketidaksiapan sosio-kultural dapat menyebabkan potensi kemudhoratan kehadiran teknologi lebih dominan dibanding kemanfaatannya. Secara umum nampaknya Indonesia termasuk negara yang tidak mempunyai kesiapan sosio-kultural dalam menyambut kehadiran teknologi. Produk regulasi tidak dapat mengikuti laju kehadiran teknologi. Diperkirakan isi (content) siaran tv mempunyai korelasi positif dengan meningkatnya kejahatan baik dari sisi frekuensi maupun derajat kejahatannya. Kehadiran teknologi mutakhir (HP, TV, Komputer) telah menyebabkan mendidik anak di Indonesia lebih sulit dibanding mendidik anak di Amerika Serikat. Sekolah di Indonesia tidak mempunyai kesanggupan mengirim sinyal-sinyal mengenai adanya potensi negatif dari teknologi (bandingkan dengan di AS yang melarang membawa HP ke sekolah). Padahal, pada saat masyarakat luas telah kehilangan nurani dan nalarnya, seharusnya sekolah menjadi salah satu benteng dan pembangun tata-nilai luhur.
Kesadaran akan fungsi positif utama suatu teknologi perlu secara terus menerus ditanamkan kepada anak-anak. Pada saat fungsi itu bergeser ke arah yang sifatnya sekunder maka berbagai konsekuensinya harus dipahami dengan baik oleh mereka. Kehadiran teknologi harus didahului oleh perbincangan yang panjang (dan mungkin melelahkan) mengenai fungsi utama dan kemungkinan dampaknya. Menghadirkan teknologi secara tiba-tiba, hanya karena ada keinginan dan kekuatan untuk mengadakannya, dalam banyak hal tergolong sebagai tidak bijaksana. Penyembuhan dari adiktif destruktif bawaan teknologi yang tidak terkontrol akan jauh lebih menyakitkan dan melelahkan dibanding diskusi berkepanjangan dalam usaha menanamkan fungsi positif utama dari teknologi itu.
PENGENDALIAN DIRI
Dampak negatif dari teknologi hadir di mana-mana, tidak mengenal waktu, makin lama semakin canggih dan berdaya tarik tinggi. Pengawasan terus menerus pada anak-anak adalah sesuatu yang tidak mungkin dan absurd. Pada saat yang sama, teknologi itu tidak perlu dimusuhi atau dijauhi karena ia dapat menjadi alat yang ampuh untuk mempersiapkan anak didik menghadapi masa depannya. Maka pendidikan mengendalikan diri menjadi suatu kebutuhan yang tidak terhindarkan dan tidak dapat ditunda. Anak-anak harus dapat memutuskan sendiri (tentu melalui suatu proses belajar) secara rasional kapan harus berhenti walau keinginannya masih memintanya lagi. Adanya momen-momen dalam kehidupan mereka yang bersifat wajib, tidak terbantahkan, adalah salah satu jenis latihan dalam proses belajar mengendalikan diri.
Termasuk dalam pengendalian diri adalah memilah dan kemudian memilih informasi yang paling relevan dengan kebutuhan pengetahuan yang diperlukan bagi pengembangan dirinya. Dalam konteks inilah peran orang tua dan guru menjadi amat penting dan tidak tergantikan. Orang tua akan sangat terbantu manakala hal-hal yang penting dan relevan itu menjadi suatu isu publik. Sekolah mempunyai peran amat penting agar sesuatu yang bermanfaat (walaupun mungkin kontroversial) bagi pengembangan anak didik menjadi suatu isu atau perbincangan publik. Anak-anak juga akan terbantu dalam proses belajar mengendalikan diri manakala objek pengendalian itu menjadi suatu isu publik. Misal, pelarangan membawa HP ke sekolah dapat dipastikan pada mulanya akan menimbulkan histeria perlawanan yang luar biasa sengitnya dari masyarakat. Debat publik akan berkepanjangan namun pada akhirnya akan menghasilkan sebuah pemahaman baru mengenai bagaimana seharusnya menggunakan gadgets itu secara tepat guna (proper) dan memenuhi kaedah-kaedah kesantunan. Luaran akhir dari proses tersebut, harapannya adalah bertambahnya kemampuan pengendalian diri secara masif di tengah-tengah masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan gadgets itu.
KASUS – KASUS DI ITB
ITB tidak steril dari kasus dampak (negatif) kehadiran gadgets mutakhir itu. Tercatat sejumlah kasus DO yang diakibatkan oleh kecanduan bermain game, yang semakin lama semakin canggih dan semakin menarik bagi anak-anak (termasuk mahasiswa). Tentu kecanduan itu tidak datang tiba-tiba namun terbangun dalam waktu yang lama, mungkin sejak SMU atau bahkan lebih dini. Mungkin orang tua semula merasa senang melihat puteranya akrab dengan permainan yang sarat dengan teknologi tanpa menyadari potensi destruktif bawaannya. Bahwa faktanya anak tersebut dapat diterima di ITB menunjukkan betapa dampak itu sedemikian tersembunyi dan baru menunjukkan akibat fatal jika faktor-faktor pemicunya muncul. Permainan game mungkin sekedar pelarian dalam menghadapi tekanan akademik yang tidak tertahankan atau dengan kata lain beban akademis telah menjadi pemicu efektif. Tentu diperlukan studi yang lebih mendalam untuk menemukan faktor-faktor pemicu yang sesungguhnya. Jumlah mahasiswa yang menggunakan HP untuk merekam perkuliahan diperkirakan akan semakin meningkat. Tentu ini merupakan hal yang baik namun dengan catatan bahwa hal itu harus tetap disertai usaha-usaha untuk meringkas dan menuliskannya kembali dalam catatan terstruktur (ini penting karena merupakan latihan paling sederhana dalam melakukan kegiatan sintesa). Diduga gadgets ini juga berperan dalam mendukung berbagai tindakan kecurangan akademik (mencontek dalam ujian atau mengcopy tugas-tugas akademik). Jika tidak ada larangan secara eksplisit mengenai larangan mengaktifkan HP selama mengikuti perkuliahan maka dapat dipastikan sejumlah (besar) mahasiswa akan sangat terusik perhatiannya dalam mengikuti kuliah.
Bagaimana dengan penggunaan laptop (komputer jinjing) didalam mengikuti perkuliahan dalam atmosfir di mana tersedia akses nirkabel? Dapat dipastikan ada dua kubu dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut yaitu pro dan kontra, setuju dan tidak setuju, masing-masing dengan alasan dan argumentasi yang kuat dan rasional. Di samping itu berbagai jejaring sosial serta berbagai hiburan yang memanfaatkan jaringan internet ditengarai juga telah mengganggu konsentrasi belajar para mahasiswa. Walaupun jumlahnya kecil namun sejumlah mahasiswa mengalami kesulitan untuk dapat hadir pada kuliah di pagi hari karena pada malam harinya berselancar di dunia maya hingga dini hari. Tentu hal-hal yang positif juga tak terhingga jumlahnya. Misalnya para mahasiswa ITB dapat mengunduh berbagai hal yang akan menunjang karirnya di masa depan. Saya hanya ingin memberikan gambaran bahwa mendidik di jaman ini sungguh memberikan tantangan-tantangan baru kepada orang tua, guru, dan bahkan masyarakat yang tidak terbayangkan sebelumnya. Oleh karena itu menjadi amat penting untuk mengetahui karakter, pola pikir, atau sikap apakah yang sebenarnya diperlukan (oleh siapa saja) untuk menghadapi tantangan di era berlimpahnya ilmu pengetahuan, teknologi (dengan dampak bawaannya yang dapat bersifat destruktif) dan peluang itu?
LIMA HAL UNTUK MENGHADAPI MASA DEPAN
Seorang guru besar dalam psikologi pendidikan dari Universitas Harvard, Prof. Howard Gardner, menawarkan lima hal untuk menuai kesuksesan di masa depan dalam bukunya yang berjudul Five Minds for the Future (Harvard Business School Press: Cambridge Massachussetts, 2007). Tiga hal berkaitan dengan atau menyangkut masalah intelek (intellect) yaitu disiplin, sintesa, kreatif (disciplined, synthesizing, creative minds), dan dua hal lainnya lebih menekankan pada karakter yaitu etika dan respek (respectful and ethical minds). Disiplin: menguasi dengan baik sekurang-kurangnya sebuah disiplin, keahlian, ketrampilan atau profesi. Kemampuan untuk fokus, tekun yang berkesinambungan dalam mengembangkan pengetahuan secara mendalam menjadi syarat perlu di sini. Penelitian menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang yang ahli dalam suatu bidang diperlukan kerja fokus selama sekurang-kurangnya 10 tahun, diperlukan sikap disiplin. Sintesa: mampu memilah dan memilih informasi dari berbagai sumber, memahami serta mengevaluasi informasi tersebut secara objektif dan kemudian menggabungkannya sedemikian rupa sehingga menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Kemampuan ini menjadi suatu keharusan di era membanjirnya informasi, baik dan buruk yang tercampur aduk, dan berasal dari berbagai arah, tanpa dibatasi ruang dan waktu. Kreatif: mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak umum, menawarkan pola pikir dan pikiran segar dalam mencari jawaban, menghasilkan solusi yang tidak terduga, membuka wawasan baru yang mencerahkan. Pikiran yang kreatif merupakan aset yang tidak ternilai harganya di era yang serba instan, sarat dengan persaingan, dan penuh ketidakpastian. Respek: mampu menghadapi perbedaan secara positif, memahami orang atau hal lain di luar dirinya, dan tentunya mampu bekerja bersama orang lain dengan baik. Teknologi telah memungkinkan manusia melakukan perjalanan dan komunikasi secara global. Dengan demikian maka kemampuan untuk dapat memahami dan menghargai orang lain menjadi luar biasa pentingnya. Etika: memperhatikan dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh kebutuhan dan keinginan publik di mana ia berada, atau dengan kata lain tidak egois. Selalu berorientasi pada kemaslahatan bagi semaksimal mungkin anggota masyarakat.
Perubahan-perubahan yang tidak dapat diduga yang ditawarkan oleh perkembangan teknologi mengharuskan semuanya melakukan persiapan-persiapan yang bersifat fundamental, tidak terpengaruh oleh perubahan-perubahan yang terjadi di luar dirinya. Di antara hal yang fundamental itu adalah membangun infrastruktur mental (di dalam diri, atau ruhani) yang selalu siap menghadapi tantangan apapun di luar dirinya. Hal ini merupakan tantangan yang sungguh tidak ringan bagi ITB yang tetap menginginkan para alumninya mempunyai peran penting dalam pembangunan bangsa di masa-masa mendatang.
KERJASAMA ORANG TUA DAN LEMBAGA PENDIDIKAN
Mengingat orang tua dan lembaga pendidikan mempunyai keinginan mulia yang sama maka kerjasama di antara keduanya adalah sebuah keniscayaan. Orang tua dan siswa merupakan pemangku kepentingan (stake holder) dari lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tinggi, khususnya di Indonesia, berkepentingan bahwa orang tua mahasiswanya tetap turut berperan aktif dalam pendidikan putera/i nya meskipun telah menjadi mahasiswa (manusia menjelang dewasa). Sejumlah kasus menunjukkan bahwa anggapan bahwa mahasiswa adalah manusia dewasa yang sepenuhnya telah mampu memikul tanggung jawab bagi masa depannya tidak seluruhnya benar. Fakta masih besarnya peran orang tua yang mengurus berbagai proses pendaftaran masuk perguruan tinggi menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa saat ini belum sepenuhnya dapat dianggap pribadi yang mandiri dan siap memikul tanggung jawab penuh. Peran aktif yang diharapkan dari orang tua adalah dalam hal memahami berbagai peraturan akademik maupun non-akademik perguruan tinggi sehingga dapat secara efektif membantu putera/i nya dalam berbagai proses pengambilan keputusan menyangkut pendidikannya. Pemahaman itu juga akan sangat membantu dalam memantau dan mendorong kemajuan atau perkembangan pendidikan putera/i-nya. Kerja sama yag baik diharapkan dapat menekan angka DO, sesuatu yang tidak diharapkan oleh orang tua maupun perguruan tinggi, hingga tingkat minimal atau bahkan nol.
Pada mulanya, secara garis besar, teknologi diciptakan untuk meningkatkan kenyamanan hidup manusia (pengecualian mungkin dapat diberikan pada teknologi pertahanan, yang untuk selanjutnya akan dikeluarkan dari pembahasan ini). Hanya teknologi yang memenuhi kriteria kenyamanan ini yang akan mempunyai nilai jual atau nilai ekonomi yang memang diperlukan untuk menopang pengembangannya lebih lanjut. Teknologi haus akan pasar dan ia tidak pernah ragu-ragu untuk menciptakan pasar baru. Oleh karena itu teknologi bersifat mendunia, di mana ada daya beli di situ ada teknologi. Kehadiran teknologi di suatu tempat sering kali lebih cepat dibandingkan kesiapan sosiokultural untuk menyambutnya. Padahal teknologi itu sendiri tercipta melalui proses yang panjang yang melibatkan juga aspek-aspek sosiokultural. Konsekuensinya, kehadiran teknologi tanpa kesiapan sosiokultural dapat menghasilkan suatu disharmoni, sisi negatif teknologi dapat menjadi lebih dominan. Teknologi mempunyai potensi untuk menjadi pedang bermata dua.
Mendidik anak pada dasarnya adalah proses mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan jamannya dan keluar sebagai pemenang (champion) bukan sebagai pecundang (loser). Masa depan yang dekat (bahkan masa itu telah datang di tengah-tengah kita) adalah masa yang berbasis pengetahuan. Dengan bantuan teknologi dapat dikatakan bahwa pengetahuan itu demikian berlimpah ruah (the age of abundance knowledge). Dapat dikatakan dengan kepastian tinggi: siapa saja yang mampu menguasai dan memanfaatkan pengetahuan itu secara maksimal maka dialah yang akan keluar sebagai pemenang, sebagai penguasa jaman. Oleh karena itu, kehadiran teknologi dalam proses kehidupan anak harus difungsikan atau diperankan untuk tujuan penguasaan, pengayaan dan pemanfaatan pengetahuan tersebut. Jadi kehadiran teknologi yang justru akan mengganggu, mengusik, atau mengacaukan proses penguasaan, pengayaan dan pemanfaatan pengetahuan harus dicegah sedini mungkin.
Kehadiran pengetahuan dan teknologi baru yang praktis tanpa henti sesungguhnya juga menciptakan berbagai kesempatan-kesempatan atau peluang-peluang baru. Oleh karena itu tidak berlebihan jika abad ini juga disebut sebagai the age of abundance opportunities. Sudah barang tentu tidak semua orang mampu melihat dan kemudian memanfaatkan berbagai peluang itu. Alih-alih memanfaatkan, pada kenyataannya banyak yang justru menjadi korban, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari kehadiran pengetahuan atau teknologi baru. Dengan demikian menjadi amat penting untuk mengetahui sejumlah syarat minimal agar kita dapat memanfaatkan berlimpahnya berbagai kesempatan atau peluang yang disediakan oleh pengetahuan atau teknologi baru.
Dalam tulisan singkat ini hanya akan disoroti teknologi fenomenal: HP, TV, dan komputer. Berbagai kasus berkenaan dampak kehadiran gadgets dalam kehidupan mahasiswa (ITB) juga akan dikemukakan dan dibahas. Pada akhirnya akan dikemukakan sejumlah karakter, jiwa, pikiran atau pola pikir sebagai syarat minimal agar dapat memanfaatkan kehadiran the age of abundance knowledge and opportunites secara optimal.
RELEVANSI dan POTENSI
Teknologi yang paling relevan dengan tujuan sebagai wahana untuk mengakses, mengolah, menguasai dan memanfaatkan pengetahuan adalah teknologi informasi dan komputer (TIK), termasuk di dalamnya adalah robot dan internet. Oleh karena itu penguasaan teknologi ini sedini mungkin, dengan memperhatikan kesiapan psikologis, akan merupakan salah satu kunci dalam mempersiapkan masa depan yang optimal bagi anak-anak. TIK ini mempunyai potensi yang amat kaya untuk merangsang semua fakultas kecerdasan anak-anak agar dapat berkembang secara maksimal.
Pengetahuan yang disimpan dan kemudian dapat diakses kembali melalui TIK praktis tidak terbatas jumlahnya dan tidak pula dibatasi oleh ruang dan waktu (apalagi hanya sekedar batas-batas negara). Jenis pengetahuan itu tidak hanya berupa teks tetapi juga berupa pemodelan, simulasi, animasi dan hal-hal yang tidak terbayangkan bahkan lima tahun yang lalu. Proses belajar melalui TIK dapat menjadi suatu proses pendidikan yang menyenangkan (joyful learning) dan oleh karenanya dapat mempunyai dampak yang amat kuat pada penguasaan pengetahuan. Dengan bantuan TIK hal-hal yang amat kompleks sekalipun dapat dengan mudah dicerna dan kemudian dipahami bahkan dihayati oleh anak didik. Meskipun demikian perlu digarisbawahi di sini bahwa peran guru tetap tidak tergantikan, TIK hanyalah sekedar suatu perangkat bantu (meskipun sangat ampuh).
KECENDERUNGAN
Teknologi yang akan mampu menciptakan pasar yang bersifat masif, dan oleh karenanya akan selalu mempunyai kekuatan untuk pengembangannya lebih lanjut, salah satunya adalah teknologi yang mempunyai kandungan hiburan (entertainment). Teknologi mutakhir seperti ini yang paling fenomenal (di Indonesia diperkirakan saat ini telah beredar sebanyak 100 juta biji!!) adalah telpon genggam (hand phone: HP). Sedangkan yang telah lebih dahulu hadir, dan sebenarnya juga fenomenal, adalah televisi berwarna dan komputer. Mungkin tidak ada satupun wilayah di Indonesia, yang terpencil sekalipun, tanpa kehadiran salah satu di antara kedua (atau bahkan kedua) jenis teknologi itu: HP dan TV. Di wilayah pedalaman Sumatra, atau Kalimantan dapat ditemui gubuk dengan antena parabola televisi.
Kemajuan teknologi informasi dan komputer telah memungkinkan pengembangan isi (content) yang menyertai produk teknologi seperti HP, TV dan komputer untuk tujuan berupa hiburan menjadi semakin menarik dan adiktif. Fungsi utama semula (misal sekedar untuk telekomunikasi) kalah oleh berbagai fitur tambahan. Bahkan produk teknologi seperti ini juga dapat menjadi pembentuk gaya hidup baru (life style trend setter). Potensi teknologi ini sebagai pengusik proses pendidikan dapat meningkat lebih cepat dibanding potensinya untuk mendukung proses pendidikan anak. Bahwa teknologi ini dapat digunakan untuk tujuan-tujuan pendidikan menghadapi masa depan tentu tidak diragukan lagi. Meskipun demikian potensi destruktifnya tidak juga dapat disepelekan atau bahkan diabaikan begitu saja. Kekawatiran yang cukup beralasan itulah yang telah menyebabkan banyak sekolah-sekolah umum di Amerika Serikat melarang para siswanya membawa HP atau pager ke sekolah sejak tahun 1988!!.
KESADARAN AKAN FUNGSI
Ketidaksiapan sosio-kultural dapat menyebabkan potensi kemudhoratan kehadiran teknologi lebih dominan dibanding kemanfaatannya. Secara umum nampaknya Indonesia termasuk negara yang tidak mempunyai kesiapan sosio-kultural dalam menyambut kehadiran teknologi. Produk regulasi tidak dapat mengikuti laju kehadiran teknologi. Diperkirakan isi (content) siaran tv mempunyai korelasi positif dengan meningkatnya kejahatan baik dari sisi frekuensi maupun derajat kejahatannya. Kehadiran teknologi mutakhir (HP, TV, Komputer) telah menyebabkan mendidik anak di Indonesia lebih sulit dibanding mendidik anak di Amerika Serikat. Sekolah di Indonesia tidak mempunyai kesanggupan mengirim sinyal-sinyal mengenai adanya potensi negatif dari teknologi (bandingkan dengan di AS yang melarang membawa HP ke sekolah). Padahal, pada saat masyarakat luas telah kehilangan nurani dan nalarnya, seharusnya sekolah menjadi salah satu benteng dan pembangun tata-nilai luhur.
Kesadaran akan fungsi positif utama suatu teknologi perlu secara terus menerus ditanamkan kepada anak-anak. Pada saat fungsi itu bergeser ke arah yang sifatnya sekunder maka berbagai konsekuensinya harus dipahami dengan baik oleh mereka. Kehadiran teknologi harus didahului oleh perbincangan yang panjang (dan mungkin melelahkan) mengenai fungsi utama dan kemungkinan dampaknya. Menghadirkan teknologi secara tiba-tiba, hanya karena ada keinginan dan kekuatan untuk mengadakannya, dalam banyak hal tergolong sebagai tidak bijaksana. Penyembuhan dari adiktif destruktif bawaan teknologi yang tidak terkontrol akan jauh lebih menyakitkan dan melelahkan dibanding diskusi berkepanjangan dalam usaha menanamkan fungsi positif utama dari teknologi itu.
PENGENDALIAN DIRI
Dampak negatif dari teknologi hadir di mana-mana, tidak mengenal waktu, makin lama semakin canggih dan berdaya tarik tinggi. Pengawasan terus menerus pada anak-anak adalah sesuatu yang tidak mungkin dan absurd. Pada saat yang sama, teknologi itu tidak perlu dimusuhi atau dijauhi karena ia dapat menjadi alat yang ampuh untuk mempersiapkan anak didik menghadapi masa depannya. Maka pendidikan mengendalikan diri menjadi suatu kebutuhan yang tidak terhindarkan dan tidak dapat ditunda. Anak-anak harus dapat memutuskan sendiri (tentu melalui suatu proses belajar) secara rasional kapan harus berhenti walau keinginannya masih memintanya lagi. Adanya momen-momen dalam kehidupan mereka yang bersifat wajib, tidak terbantahkan, adalah salah satu jenis latihan dalam proses belajar mengendalikan diri.
Termasuk dalam pengendalian diri adalah memilah dan kemudian memilih informasi yang paling relevan dengan kebutuhan pengetahuan yang diperlukan bagi pengembangan dirinya. Dalam konteks inilah peran orang tua dan guru menjadi amat penting dan tidak tergantikan. Orang tua akan sangat terbantu manakala hal-hal yang penting dan relevan itu menjadi suatu isu publik. Sekolah mempunyai peran amat penting agar sesuatu yang bermanfaat (walaupun mungkin kontroversial) bagi pengembangan anak didik menjadi suatu isu atau perbincangan publik. Anak-anak juga akan terbantu dalam proses belajar mengendalikan diri manakala objek pengendalian itu menjadi suatu isu publik. Misal, pelarangan membawa HP ke sekolah dapat dipastikan pada mulanya akan menimbulkan histeria perlawanan yang luar biasa sengitnya dari masyarakat. Debat publik akan berkepanjangan namun pada akhirnya akan menghasilkan sebuah pemahaman baru mengenai bagaimana seharusnya menggunakan gadgets itu secara tepat guna (proper) dan memenuhi kaedah-kaedah kesantunan. Luaran akhir dari proses tersebut, harapannya adalah bertambahnya kemampuan pengendalian diri secara masif di tengah-tengah masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan gadgets itu.
KASUS – KASUS DI ITB
ITB tidak steril dari kasus dampak (negatif) kehadiran gadgets mutakhir itu. Tercatat sejumlah kasus DO yang diakibatkan oleh kecanduan bermain game, yang semakin lama semakin canggih dan semakin menarik bagi anak-anak (termasuk mahasiswa). Tentu kecanduan itu tidak datang tiba-tiba namun terbangun dalam waktu yang lama, mungkin sejak SMU atau bahkan lebih dini. Mungkin orang tua semula merasa senang melihat puteranya akrab dengan permainan yang sarat dengan teknologi tanpa menyadari potensi destruktif bawaannya. Bahwa faktanya anak tersebut dapat diterima di ITB menunjukkan betapa dampak itu sedemikian tersembunyi dan baru menunjukkan akibat fatal jika faktor-faktor pemicunya muncul. Permainan game mungkin sekedar pelarian dalam menghadapi tekanan akademik yang tidak tertahankan atau dengan kata lain beban akademis telah menjadi pemicu efektif. Tentu diperlukan studi yang lebih mendalam untuk menemukan faktor-faktor pemicu yang sesungguhnya. Jumlah mahasiswa yang menggunakan HP untuk merekam perkuliahan diperkirakan akan semakin meningkat. Tentu ini merupakan hal yang baik namun dengan catatan bahwa hal itu harus tetap disertai usaha-usaha untuk meringkas dan menuliskannya kembali dalam catatan terstruktur (ini penting karena merupakan latihan paling sederhana dalam melakukan kegiatan sintesa). Diduga gadgets ini juga berperan dalam mendukung berbagai tindakan kecurangan akademik (mencontek dalam ujian atau mengcopy tugas-tugas akademik). Jika tidak ada larangan secara eksplisit mengenai larangan mengaktifkan HP selama mengikuti perkuliahan maka dapat dipastikan sejumlah (besar) mahasiswa akan sangat terusik perhatiannya dalam mengikuti kuliah.
Bagaimana dengan penggunaan laptop (komputer jinjing) didalam mengikuti perkuliahan dalam atmosfir di mana tersedia akses nirkabel? Dapat dipastikan ada dua kubu dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut yaitu pro dan kontra, setuju dan tidak setuju, masing-masing dengan alasan dan argumentasi yang kuat dan rasional. Di samping itu berbagai jejaring sosial serta berbagai hiburan yang memanfaatkan jaringan internet ditengarai juga telah mengganggu konsentrasi belajar para mahasiswa. Walaupun jumlahnya kecil namun sejumlah mahasiswa mengalami kesulitan untuk dapat hadir pada kuliah di pagi hari karena pada malam harinya berselancar di dunia maya hingga dini hari. Tentu hal-hal yang positif juga tak terhingga jumlahnya. Misalnya para mahasiswa ITB dapat mengunduh berbagai hal yang akan menunjang karirnya di masa depan. Saya hanya ingin memberikan gambaran bahwa mendidik di jaman ini sungguh memberikan tantangan-tantangan baru kepada orang tua, guru, dan bahkan masyarakat yang tidak terbayangkan sebelumnya. Oleh karena itu menjadi amat penting untuk mengetahui karakter, pola pikir, atau sikap apakah yang sebenarnya diperlukan (oleh siapa saja) untuk menghadapi tantangan di era berlimpahnya ilmu pengetahuan, teknologi (dengan dampak bawaannya yang dapat bersifat destruktif) dan peluang itu?
LIMA HAL UNTUK MENGHADAPI MASA DEPAN
Seorang guru besar dalam psikologi pendidikan dari Universitas Harvard, Prof. Howard Gardner, menawarkan lima hal untuk menuai kesuksesan di masa depan dalam bukunya yang berjudul Five Minds for the Future (Harvard Business School Press: Cambridge Massachussetts, 2007). Tiga hal berkaitan dengan atau menyangkut masalah intelek (intellect) yaitu disiplin, sintesa, kreatif (disciplined, synthesizing, creative minds), dan dua hal lainnya lebih menekankan pada karakter yaitu etika dan respek (respectful and ethical minds). Disiplin: menguasi dengan baik sekurang-kurangnya sebuah disiplin, keahlian, ketrampilan atau profesi. Kemampuan untuk fokus, tekun yang berkesinambungan dalam mengembangkan pengetahuan secara mendalam menjadi syarat perlu di sini. Penelitian menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang yang ahli dalam suatu bidang diperlukan kerja fokus selama sekurang-kurangnya 10 tahun, diperlukan sikap disiplin. Sintesa: mampu memilah dan memilih informasi dari berbagai sumber, memahami serta mengevaluasi informasi tersebut secara objektif dan kemudian menggabungkannya sedemikian rupa sehingga menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Kemampuan ini menjadi suatu keharusan di era membanjirnya informasi, baik dan buruk yang tercampur aduk, dan berasal dari berbagai arah, tanpa dibatasi ruang dan waktu. Kreatif: mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak umum, menawarkan pola pikir dan pikiran segar dalam mencari jawaban, menghasilkan solusi yang tidak terduga, membuka wawasan baru yang mencerahkan. Pikiran yang kreatif merupakan aset yang tidak ternilai harganya di era yang serba instan, sarat dengan persaingan, dan penuh ketidakpastian. Respek: mampu menghadapi perbedaan secara positif, memahami orang atau hal lain di luar dirinya, dan tentunya mampu bekerja bersama orang lain dengan baik. Teknologi telah memungkinkan manusia melakukan perjalanan dan komunikasi secara global. Dengan demikian maka kemampuan untuk dapat memahami dan menghargai orang lain menjadi luar biasa pentingnya. Etika: memperhatikan dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh kebutuhan dan keinginan publik di mana ia berada, atau dengan kata lain tidak egois. Selalu berorientasi pada kemaslahatan bagi semaksimal mungkin anggota masyarakat.
Perubahan-perubahan yang tidak dapat diduga yang ditawarkan oleh perkembangan teknologi mengharuskan semuanya melakukan persiapan-persiapan yang bersifat fundamental, tidak terpengaruh oleh perubahan-perubahan yang terjadi di luar dirinya. Di antara hal yang fundamental itu adalah membangun infrastruktur mental (di dalam diri, atau ruhani) yang selalu siap menghadapi tantangan apapun di luar dirinya. Hal ini merupakan tantangan yang sungguh tidak ringan bagi ITB yang tetap menginginkan para alumninya mempunyai peran penting dalam pembangunan bangsa di masa-masa mendatang.
KERJASAMA ORANG TUA DAN LEMBAGA PENDIDIKAN
Mengingat orang tua dan lembaga pendidikan mempunyai keinginan mulia yang sama maka kerjasama di antara keduanya adalah sebuah keniscayaan. Orang tua dan siswa merupakan pemangku kepentingan (stake holder) dari lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tinggi, khususnya di Indonesia, berkepentingan bahwa orang tua mahasiswanya tetap turut berperan aktif dalam pendidikan putera/i nya meskipun telah menjadi mahasiswa (manusia menjelang dewasa). Sejumlah kasus menunjukkan bahwa anggapan bahwa mahasiswa adalah manusia dewasa yang sepenuhnya telah mampu memikul tanggung jawab bagi masa depannya tidak seluruhnya benar. Fakta masih besarnya peran orang tua yang mengurus berbagai proses pendaftaran masuk perguruan tinggi menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa saat ini belum sepenuhnya dapat dianggap pribadi yang mandiri dan siap memikul tanggung jawab penuh. Peran aktif yang diharapkan dari orang tua adalah dalam hal memahami berbagai peraturan akademik maupun non-akademik perguruan tinggi sehingga dapat secara efektif membantu putera/i nya dalam berbagai proses pengambilan keputusan menyangkut pendidikannya. Pemahaman itu juga akan sangat membantu dalam memantau dan mendorong kemajuan atau perkembangan pendidikan putera/i-nya. Kerja sama yag baik diharapkan dapat menekan angka DO, sesuatu yang tidak diharapkan oleh orang tua maupun perguruan tinggi, hingga tingkat minimal atau bahkan nol.